KH. Djauhari Zawawi Kencong (1911-1994): Ulama fanatik NU dan
pejuang pergerakan bawah tanah dari desa ke desa
Kiai Haji Djauhari Zawawi adalah salah seorang ulama yang
ikut mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) cabang Kencong, Kabupaten Jember, Jawa
Timur, pada 16 Rajab 1356/21 September 1937, serta pendiri Pesantren
as-Sunniyah Kencong, Jember. Nama-nama ulama lainnya yang merintis berdirinya
NU Kencong – untuk menyebut beberapa nama – adalah Kiai Solihi (Jombang), Kiai
Syarif (Kencong), Kiai Abdul Khayyi (Kencong), Kiai Badrun (Gumukmas), KH.
Abdullah Yaqin (Mlokorejo), dan Kiai Anas Sulthon (Umbulsari).
Meski agak bandel, tetapi semangat belajarnya tinggi dan
penuh semangat. Dalam usia 11 (sebelas) tahun sudah menghafal Kitab Alfiyah
Ibnu Malik (pelajaran ilmu nahwu) selama tiga bulan. Kitab ini umumnya dihafal
dan dipelajari oleh para santri pada jenjang Tsanawiyah dalam usia sekitar 16
tahun. Tapi sebelum mencapai usia tersebut, Kiai Djauhari sudah membaca dan
menghafal kitab tersebut.
Selama nyantri di Tebuireng, KH. Abdullah Shiddiq, koleganya
sesama pengurus NU di Jember dan kakak kandung KH. Achmad Shiddiq (Rais Am PBNU
1984-1991), mengatakan, “Di antara santri-santri KH. Hasyim Asy’ari itu ada
yang memperoleh ilmu, ada yang memperoleh martabat kepemimpinan dan ada yang
memperoleh karamah ke-jadug-an. Dan ketiganya ada pada diri KH. Djauhari
Zawawi”. Kejadugan adalah tanda-tanda kewalian seseorang dimana ia sendiri
tidak menyadari dirinya sebagai waliyullah.
Sebelum merintis pesantren sendiri, Kiai Jauhari membantu
mengasuh pesantren binaan ayah mertuanya, Kiai Masykur Sarang, Rembang,lalu
menetap di Probolinggo selama dua tahun lebih. Dibantu Kiai Nawawi Pajarakan,
Kiai Djauhari merintis pesantren hingga berkembang pesat sebelum berangkat ke
Tanah Suci Mekah. Selama beliau berada di Mekah, urusan pesantren yang terletak
sebelah utara Pasar Probolinggo ini diserahkan kepada adiknya, KH. Atho'illah.
Di Kencong, Jember, KiaiDjauhari awalnya membantu mengajar di
langgar waqaf Kiai Sholihi, disamping membuka pengajian sendiri di rumahnya –
yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Pondok Pesantrenas-Sunniyyah yang
hingga kini masih eksis di Desa Kencong, Kecamatan Kencong, Kabupaten
Jember.Sebagai santri KH. Hasyim Asy’ari, beliau juga membantu pendirian
organisasi Nahdlatul Ulama di daerah Kencong, bersama para ulama lainnya.
Awalnya berupa perkumpulan pengajian, kemudian menyatu
menjadi kepengurusan tingkat ranting NU Kencong. Lalu, melalui keputusan
HoofdbestuurNahdlatoel Oelama (HBNO, kini PBNU) yang berkedudukan di Surabaya,
pada 16 Rajab 1356/21 September 1937 kepengurusan Cabang NU Kencong berdiri,
yang membawahi seluruh wilayah kawedanan Puger, bagian Jember selatan.
Kemudian, dalam konferensi PCNU Kencong tahun 1950 yang diselenggarakan di
Pesantren KH. Abdullah YaqinMlokorejo, Kiai Djauhari terpilih sebagai Rais
SyuriahPCNU Kencong. Posisi tersebut dipegangnya hingga di tahun 1984. Waktu
itu beliau berdebat dengan KH. Achmad Shiddiq yang terpilih sebagai Rais Am
PBNU dalam Muktamar Situbondo dalam soal penerimaan Pancasila sebagai asas
dalam organisasi NU. Argumen teman sejawatnya di Jember itutidak memuaskan
beliau hingga harus meletakkan jabatan di kepengurusan NU Kencong.
Kiai Djauhari Zawawi juga dikenal sebagai ulama berpendirian
keras terhadap penjajahan bangsa asing di negara kita. Di masa pendudukan
tentara Jepang, beliau menentang kewajiban pembayaran zakat masyarakat yang
disalurkan kepada pemerintahan militer Jepang. Itu disampaikan dalam satu
pengajian warga NU di Masjid Jami’ Kencong di tahun 1942. “Zakat untuk Jepang
tidak sah”, demikian seruan beliau. Kewajiban ini merupakan salah satu siasat
Jepang untuk membiayai perang mereka di Asia Tenggara. Dan perang itu sendiri
disebut Jepang sebagai “jihad” atau “sabilillah”. Bukan hanya zakat, hasil bumi
dan industri pakaianpun dirampas, perdagangan macet,sehingga menambah
kesengsaraan rakyat. Dan Kiai Djauhari tampil membela kepentingan rakyat kita.
Pihak Kempetai, polisi keamanan Jepang yang dikenal sangar
dan sadis,segera menahan Kiai Jauhari di sel polisi yang terletak di utara
Masjid Jami’ Kencong. Usai Shalat Subuh, beliau sempat melarikan diri, naik
kereta hingga ke Rembang, Jawa Tengah. Ini tentu membuat gusar pemerintahan
pendudukan Jepang.Rumah kiai dan pesantren digeledah, sehingga membuat panik
keluarga dan para santri resah.Sebagian besar santri pulang ke kampung halaman.
Sebagian kecil tinggal berjaga-jaga. Sementara Nyai Zuhriyah (istri ketiga
beliau) dan Kiai Athoillah (adik kandung beliau) ditahan.
Selama dalam pelariannya tersebut, Kiai Jauhari menyempatkan
diri ke Jombang, bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ari.Atas saran gurunya itu,
beliau bertemu dengan KH. Wahid Hasyim, yang saat itu menjabat sebagai Kepala
Shumubu (Kantor Urusan Agama Pusat yang dibentuk PemerintahanPendudukan Militer
Jepang).Kedekatannya dengan sejumlah pejabat Jepang setidaknya bisa membantu
meringankan kasus Kiai Djauhari. Kiai Wahid menyarankan untuk menyerahkan diri
ke Residen Besuki di Bondowoso. Di sana beliau diadili dalam satu pengadilan
yang dipimpin seorang hakim orang Indonesia. Pengadilan itu memutuskan
pembebasan Kiai Djauhari dari segala tuntutan. Akhirnya sang kiai bisa kembali
ke Kencong dengan aman dan selamat.
Di masa Revolusi Kemerdekaan mempertahankan Republik Indonesia,
Kiai Djauhari ikut berjuang melawan tentara NICA-Belanda yang ingin mendududuki
kembali Indonesia. dalam sejumlah kesempatan pengajian dan ceramah agama,
beliau kerap memompa semangat juang rakyat. Termasuk memberikan bekal bacaan
dan doa-doa kepada para anggota laskar yang akan terjun ke medan pertempuran.
Selain itu, Kiai Djauhari juga menjadi informan dan penghubung komunikasi di
antara para pejuang dan orang-orang pesantren. Ini sebetulnya merupakan
kelanjutan dari peran yang pernah dimainkan beliau sebagai santri kelana yang
mengembara dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Namun, peran itu jelas
sangat beresiko, dan membuat beliau gampang menjadi incaran tentara Belanda.
Pergerakan bawah tanah yang dilakukan Kiai Djauhari dari satu
desa ke desa, dari satu pesantren ke pesantren, untuk menghindari kejaran
tentara Belanda, juga punya sisi positifnya. Selain memperluas jaringan
komunikasi kaum santri, beliau juga mengisi waktunya dalam pelarian berdakwah
dan mengajar di tengah masyarakat yang dikunjunginya di wilayah Jember dan
sekitarnya. Ini jelas mempererat hubungan ulama dan masyarakat,antara pesantren
dan komunitasnya.Usai penyerahan kedaulatan di tahun 1949, Kiai Djauhari
kembali ke Kencong, mengasuh kembali pesantren Pesantren as-Sunniyah dan mengurus
NU hingga akhir hayatnya.
Allah yarhamhu.....
0 comments:
Post a Comment