Friday, 26 December 2014

KH. Djauhari Zawawi Kencong (1911-1994): Ulama fanatik NU dan pejuang pergerakan bawah tanah dari desa ke desa

KH. Djauhari Zawawi Kencong (1911-1994): Ulama fanatik NU dan pejuang pergerakan bawah tanah dari desa ke desa

Kiai Haji Djauhari Zawawi adalah salah seorang ulama yang ikut mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) cabang Kencong, Kabupaten Jember, Jawa Timur, pada 16 Rajab 1356/21 September 1937, serta pendiri Pesantren as-Sunniyah Kencong, Jember. Nama-nama ulama lainnya yang merintis berdirinya NU Kencong – untuk menyebut beberapa nama – adalah Kiai Solihi (Jombang), Kiai Syarif (Kencong), Kiai Abdul Khayyi (Kencong), Kiai Badrun (Gumukmas), KH. Abdullah Yaqin (Mlokorejo), dan Kiai Anas Sulthon (Umbulsari).
Meski agak bandel, tetapi semangat belajarnya tinggi dan penuh semangat. Dalam usia 11 (sebelas) tahun sudah menghafal Kitab Alfiyah Ibnu Malik (pelajaran ilmu nahwu) selama tiga bulan. Kitab ini umumnya dihafal dan dipelajari oleh para santri pada jenjang Tsanawiyah dalam usia sekitar 16 tahun. Tapi sebelum mencapai usia tersebut, Kiai Djauhari sudah membaca dan menghafal kitab tersebut.
Selama nyantri di Tebuireng, KH. Abdullah Shiddiq, koleganya sesama pengurus NU di Jember dan kakak kandung KH. Achmad Shiddiq (Rais Am PBNU 1984-1991), mengatakan, “Di antara santri-santri KH. Hasyim Asy’ari itu ada yang memperoleh ilmu, ada yang memperoleh martabat kepemimpinan dan ada yang memperoleh karamah ke-jadug-an. Dan ketiganya ada pada diri KH. Djauhari Zawawi”. Kejadugan adalah tanda-tanda kewalian seseorang dimana ia sendiri tidak menyadari dirinya sebagai waliyullah.
Sebelum merintis pesantren sendiri, Kiai Jauhari membantu mengasuh pesantren binaan ayah mertuanya, Kiai Masykur Sarang, Rembang,lalu menetap di Probolinggo selama dua tahun lebih. Dibantu Kiai Nawawi Pajarakan, Kiai Djauhari merintis pesantren hingga berkembang pesat sebelum berangkat ke Tanah Suci Mekah. Selama beliau berada di Mekah, urusan pesantren yang terletak sebelah utara Pasar Probolinggo ini diserahkan kepada adiknya, KH. Atho'illah.
Di Kencong, Jember, KiaiDjauhari awalnya membantu mengajar di langgar waqaf Kiai Sholihi, disamping membuka pengajian sendiri di rumahnya – yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Pondok Pesantrenas-Sunniyyah yang hingga kini masih eksis di Desa Kencong, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember.Sebagai santri KH. Hasyim Asy’ari, beliau juga membantu pendirian organisasi Nahdlatul Ulama di daerah Kencong, bersama para ulama lainnya.
Awalnya berupa perkumpulan pengajian, kemudian menyatu menjadi kepengurusan tingkat ranting NU Kencong. Lalu, melalui keputusan HoofdbestuurNahdlatoel Oelama (HBNO, kini PBNU) yang berkedudukan di Surabaya, pada 16 Rajab 1356/21 September 1937 kepengurusan Cabang NU Kencong berdiri, yang membawahi seluruh wilayah kawedanan Puger, bagian Jember selatan. Kemudian, dalam konferensi PCNU Kencong tahun 1950 yang diselenggarakan di Pesantren KH. Abdullah YaqinMlokorejo, Kiai Djauhari terpilih sebagai Rais SyuriahPCNU Kencong. Posisi tersebut dipegangnya hingga di tahun 1984. Waktu itu beliau berdebat dengan KH. Achmad Shiddiq yang terpilih sebagai Rais Am PBNU dalam Muktamar Situbondo dalam soal penerimaan Pancasila sebagai asas dalam organisasi NU. Argumen teman sejawatnya di Jember itutidak memuaskan beliau hingga harus meletakkan jabatan di kepengurusan NU Kencong.
Kiai Djauhari Zawawi juga dikenal sebagai ulama berpendirian keras terhadap penjajahan bangsa asing di negara kita. Di masa pendudukan tentara Jepang, beliau menentang kewajiban pembayaran zakat masyarakat yang disalurkan kepada pemerintahan militer Jepang. Itu disampaikan dalam satu pengajian warga NU di Masjid Jami’ Kencong di tahun 1942. “Zakat untuk Jepang tidak sah”, demikian seruan beliau. Kewajiban ini merupakan salah satu siasat Jepang untuk membiayai perang mereka di Asia Tenggara. Dan perang itu sendiri disebut Jepang sebagai “jihad” atau “sabilillah”. Bukan hanya zakat, hasil bumi dan industri pakaianpun dirampas, perdagangan macet,sehingga menambah kesengsaraan rakyat. Dan Kiai Djauhari tampil membela kepentingan rakyat kita.
Pihak Kempetai, polisi keamanan Jepang yang dikenal sangar dan sadis,segera menahan Kiai Jauhari di sel polisi yang terletak di utara Masjid Jami’ Kencong. Usai Shalat Subuh, beliau sempat melarikan diri, naik kereta hingga ke Rembang, Jawa Tengah. Ini tentu membuat gusar pemerintahan pendudukan Jepang.Rumah kiai dan pesantren digeledah, sehingga membuat panik keluarga dan para santri resah.Sebagian besar santri pulang ke kampung halaman. Sebagian kecil tinggal berjaga-jaga. Sementara Nyai Zuhriyah (istri ketiga beliau) dan Kiai Athoillah (adik kandung beliau) ditahan.
Selama dalam pelariannya tersebut, Kiai Jauhari menyempatkan diri ke Jombang, bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ari.Atas saran gurunya itu, beliau bertemu dengan KH. Wahid Hasyim, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama Pusat yang dibentuk PemerintahanPendudukan Militer Jepang).Kedekatannya dengan sejumlah pejabat Jepang setidaknya bisa membantu meringankan kasus Kiai Djauhari. Kiai Wahid menyarankan untuk menyerahkan diri ke Residen Besuki di Bondowoso. Di sana beliau diadili dalam satu pengadilan yang dipimpin seorang hakim orang Indonesia. Pengadilan itu memutuskan pembebasan Kiai Djauhari dari segala tuntutan. Akhirnya sang kiai bisa kembali ke Kencong dengan aman dan selamat.
Di masa Revolusi Kemerdekaan mempertahankan Republik Indonesia, Kiai Djauhari ikut berjuang melawan tentara NICA-Belanda yang ingin mendududuki kembali Indonesia. dalam sejumlah kesempatan pengajian dan ceramah agama, beliau kerap memompa semangat juang rakyat. Termasuk memberikan bekal bacaan dan doa-doa kepada para anggota laskar yang akan terjun ke medan pertempuran. Selain itu, Kiai Djauhari juga menjadi informan dan penghubung komunikasi di antara para pejuang dan orang-orang pesantren. Ini sebetulnya merupakan kelanjutan dari peran yang pernah dimainkan beliau sebagai santri kelana yang mengembara dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Namun, peran itu jelas sangat beresiko, dan membuat beliau gampang menjadi incaran tentara Belanda.
Pergerakan bawah tanah yang dilakukan Kiai Djauhari dari satu desa ke desa, dari satu pesantren ke pesantren, untuk menghindari kejaran tentara Belanda, juga punya sisi positifnya. Selain memperluas jaringan komunikasi kaum santri, beliau juga mengisi waktunya dalam pelarian berdakwah dan mengajar di tengah masyarakat yang dikunjunginya di wilayah Jember dan sekitarnya. Ini jelas mempererat hubungan ulama dan masyarakat,antara pesantren dan komunitasnya.Usai penyerahan kedaulatan di tahun 1949, Kiai Djauhari kembali ke Kencong, mengasuh kembali pesantren Pesantren as-Sunniyah dan mengurus NU hingga akhir hayatnya.

Allah yarhamhu.....

  • Blogger Comments

0 comments:

Post a Comment

Top