Catatan dibawah ini merupakan catatan guru besar kami, Beliau Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen kebetulan saya menyadurnya dari facebook beliau dengan judul asli kehidupan yang bukan hitam putih
“Nang dunyo iki ora ono sing satus persen penak. Ono wae seng
ndadikno ganjel. Yen kepingin penak lan pas kabeh suk nang suwargo. Urip nang
dunyo kudu wani lan iso ngempet!” ngendikane Mahaguru.
“Di dunia ini gak ada yang enak seratus persen. Selalu ada yang
mengganjal. Kalau kepingin enak dan pas semua maka itu nanti di sorga. Berani
hidup di dunia berarti berani dan bisa ngempet (menahan diri).”
Banyak yang menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW. menjalani kehidupan
yang serba ideal, yang semuanya serba pas. Namun sebetulnya pandangan ini
tidaklah tepat. Hakikat kehidupan bukan memilih yang serba terang tapi
mencermati dan memilih secara tepat yang abu-abu. Kualitas seseorang lebih
ditentukan ketika menghadapi persoalan besar dan rumit yang tiap pilihannya
mengandung unsur baik dan unsur tidak baik. Sebaliknya, mereka yang tak
berkualitas selalu menentukan pilihan secara radikal. Dalam pandangan kelompok
ini hanya ada A atau B, hanya ada baik seratus persen dan buruk seratus persen.
Kalau tidak kafir berarti mukmin, kalau tidak Islam berarti kufur. Jika
Indonesia tidak Islam berarti Indonesia Kapir! Jika tidak NU berarti
Muhammadiyah, atau jika Muhammadiyah berarti tidak NU! Orang-orang seperti ini
kesulitan memahami bahwa Indonesia bukan negara Islam dan juga bukan negara
kafir.
Pada awal Islam pandangan radikal demikian ditampilkan oleh
kelompok Khawarij. Abdur Razzaq dan Thabari meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa
dia berkunjung ke markas Khawarij.
“Katakan padaku apa gerangan yang menjadikan kalian semua mendendam
kepada sepupu, menantu, dan sekaligus orang pertama yang iman kepada
Rasulullah, sementara para sahabat justeru berada di pihaknya?” Ibn Abbas
mengajukan pertanyaan kepada mereka.
“Kami mendendam kepada dia (Imam Ali) karena tiga hal.”
“Apakah itu?”
“Pertama: dia ber-tahkim kepada manusia dalam urusan agama Allah,
sementara Allah telah berfirman “inil hukmu illaa lillaah”, (hukum itu hanyalah
kepunyaan Allah).”
“Lalu apa lagi?” Ibn Abbas melanjutkan pertanyaan.
“Dia berperang tapi tidak mencaci dan menjarah. Jika mereka
(musuh-musuh politik Imam Ali ra.) kafir maka harta mereka halal, dan jika
mereka mukmin maka darah mereka haram.”
“Lalu apa lagi?”
“Dia mengapus dirinya sendiri dari status Amirul Mukminin. Jika dia
tidak (lagi) Amirul Mukminin berarti dia Amirul Kafirin.”
Tiga gugatan ini adalah sikap yang amat radikal. Dalam pandangan
mereka hanya ada kebaikan seratus persen. Jika tidak maka berarti buruk. Ibn
Abbas ketika memasuki markas mereka menjumpai kaum ekstrim dalam menjalankan
apa yang mereka anggap sebagai kebaikan. Tangan mereka kasar dan kering karena
bekerja dan jidat mereka melepuh bekas sujud. “Saya tidak pernah menjumpai satu
kaum yang ijtihadnya melebihi mereka,” kata Ibn Abbas. Mereka tampaknya
menganggap bahwa manusia harus seperti mereka. Jika tidak demikian maka berarti
sudah keluar dari Islam.
Gugatan pertama menunjukkan kegagalan mereka melihat adanya hukum
yang di satu sudut adalah hukum Tuhan dan di sudut yang lain adalah hukum
manusia seperti kebanyak hukum-hukum fikih hasil ijtihad para ulama. Hukum
fikih adalah hukum Tuhan karena sumbernya adalah firman-firman Allah dan sunnah
Nabinya, dan karena dalam perumusannya mendasarkan pada niat mencari hukum
Tuhan. Tapi ia juga hukum manusia karena merupakan hasil dari olah pikir. Imam
Syafii bahkan menyebutnya sebagai ra’y, pendapat, yang dia sandarkan pada
dirinya sendiri: “pendapatku adalah benar yang mungkin salah dan pendapat orang
lain adalah salah yang mungkin benar.”
Ibn Abbas atas gugatan pertama ini mengatakan: Anggapan kalian
bahwa dia (Imam Ali) telah bertahkim kepada manusia, maka sesungguhnya Allah
membenarkan itu. Allah berkata:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang
siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti
dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan
dua orang yang adil di antara kamu.” QS. Al-Maidah/5: 95.
Dan Allah juga berkata mengenai perselisihan antara seorang
perempuan dan suaminya:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan.” QS. An-Nisaa/4: 35.
Demi Allah jawablah pertanyaanku! Apakah berhukum kepada manusia
demi menjaga darah umat Islam dan jiwanya dan demi terciptanya kedamaian di
antara mereka lebih haq ataukah berhukum kepada manusia dalam urusan kelinci
yang harganya (cuma) seperempat dirham?
Gugatan kedua, yaitu bahwa Ali berperang tapi (kenapa) tidak
mencaci dan tidak menjarah, adalah kegagalan melihat bahwa kerumitan hidup di
dunia kadang mengharuskan untuk memerangi kelompok yang agamnya Islam. Bahkan
mungkin di antara mereka terdapat orang-orang yang baik dan saleh. Situasi yang
mengharuskan untuk berperang, maka tak perlu ada cacian apalagi penjarahan.
Khawarij secara simpel berlogika: jika mereka diperangi berarti mereka talah
keluar dari Islam dan karenanya harus dimaki dan dijarah hartanya.
Ibn Abbas ra. menjawab: gugatan kalian bahwa Ali berperang dan
tidak mencaci dan menjarah, karena diantara lawan-lawan Imam Ali terdapat Bunda
Aisyah. Apa kalian hendak mencaci Ibunda Aisyah? Atau kalian bahkan menganggap
halal terhadap Bunda Aisyah segala apa yang kalian anggap halal terhadap yang
lain? Jika kalian berprasangka demikian maka kalian telah kafir. Jika kalian
menganggap bahwa Ibu Aisyah bukan ibu kalian maka kalian juga telah kafir.
Allah telah berfirman:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” QS. Al-Ahzab/33: 6.
Gugatan ketiga, bahwa jika Imam Ali mengapus dirinya sendiri dari
status Amirul Mukminin maka berarti sekarang dia Amirul Kafirin, adalah
siplifikasi yang ekstrim. Keruwetan politik tidak bisa disikapi dengan logika
ekstrim semacam ini. Salah satu esensi politik adalah kesiapan bernegoisasi
dengan kepentingan-kepentingan yang lain. Sikap ekstrim hanya akan melahirkan
kebuntuan dan dipastikan akan berujung kepada angkat senjata atau undur diri
dari gelanggang. Imam Ali rela berunding dengan Muawiyah—dengan keharusan
tampak seperti berkedudukan yang sama—karena itu, dalam pandangannya,
satu-satunya jalan terbaik demi menjaga darah umat Islam.
Ibn Abbas menjawab: Gugatan kalian, bahwa Imam Ali telah menghapus
dirinya sendiri dari status Amirul Mukminin, ada contohnya dalam diri
Rasulullah SAW. Rasulullah pada perang Hudaibiyah mengundang kaum Quraisy untuk
menulis perjanjian di antara mereka. Kata Rasulullah: “tulis: ini adalah
keputusan Muhammad utusan Allah.”
Orang-orang Quraisy protes:
“jika kami meyakini bahwa engkau adalah utusan Allah maka kami
tidak akan menghalangimu dari baitullah dan kami juga tidak akan memerangimu.
Tapi tulislah: Muhammad bin Abdullah.”
Nabi Muhammad lalu berkata:
“Demi Allah, saya adalah utusan Allah meski kalian membohongkan
itu. Tulislah wahi Ali: Muhammad bin Abdullah.”
pontianak, untuk kehidupan yang lebih manusiawi ..
0 comments:
Post a Comment