Sunday, 2 March 2014

kehidupan yang bukan hitam putih : Kebebalan Pola Radikalism

Dr. KH abdul Ghofur maimoena
Catatan dibawah ini merupakan catatan guru besar kami, Beliau Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen kebetulan saya menyadurnya dari facebook beliau dengan judul asli kehidupan yang bukan hitam putih

“Nang dunyo iki ora ono sing satus persen penak. Ono wae seng ndadikno ganjel. Yen kepingin penak lan pas kabeh suk nang suwargo. Urip nang dunyo kudu wani lan iso ngempet!” ngendikane Mahaguru.

“Di dunia ini gak ada yang enak seratus persen. Selalu ada yang mengganjal. Kalau kepingin enak dan pas semua maka itu nanti di sorga. Berani hidup di dunia berarti berani dan bisa ngempet (menahan diri).”

Banyak yang menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW. menjalani kehidupan yang serba ideal, yang semuanya serba pas. Namun sebetulnya pandangan ini tidaklah tepat. Hakikat kehidupan bukan memilih yang serba terang tapi mencermati dan memilih secara tepat yang abu-abu. Kualitas seseorang lebih ditentukan ketika menghadapi persoalan besar dan rumit yang tiap pilihannya mengandung unsur baik dan unsur tidak baik. Sebaliknya, mereka yang tak berkualitas selalu menentukan pilihan secara radikal. Dalam pandangan kelompok ini hanya ada A atau B, hanya ada baik seratus persen dan buruk seratus persen. Kalau tidak kafir berarti mukmin, kalau tidak Islam berarti kufur. Jika Indonesia tidak Islam berarti Indonesia Kapir! Jika tidak NU berarti Muhammadiyah, atau jika Muhammadiyah berarti tidak NU! Orang-orang seperti ini kesulitan memahami bahwa Indonesia bukan negara Islam dan juga bukan negara kafir.

Pada awal Islam pandangan radikal demikian ditampilkan oleh kelompok Khawarij. Abdur Razzaq dan Thabari meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa dia berkunjung ke markas Khawarij.

“Katakan padaku apa gerangan yang menjadikan kalian semua mendendam kepada sepupu, menantu, dan sekaligus orang pertama yang iman kepada Rasulullah, sementara para sahabat justeru berada di pihaknya?” Ibn Abbas mengajukan pertanyaan kepada mereka.

“Kami mendendam kepada dia (Imam Ali) karena tiga hal.”

“Apakah itu?”

“Pertama: dia ber-tahkim kepada manusia dalam urusan agama Allah, sementara Allah telah berfirman “inil hukmu illaa lillaah”, (hukum itu hanyalah kepunyaan Allah).”

“Lalu apa lagi?” Ibn Abbas melanjutkan pertanyaan.

“Dia berperang tapi tidak mencaci dan menjarah. Jika mereka (musuh-musuh politik Imam Ali ra.) kafir maka harta mereka halal, dan jika mereka mukmin maka darah mereka haram.”

“Lalu apa lagi?”

“Dia mengapus dirinya sendiri dari status Amirul Mukminin. Jika dia tidak (lagi) Amirul Mukminin berarti dia Amirul Kafirin.”

Tiga gugatan ini adalah sikap yang amat radikal. Dalam pandangan mereka hanya ada kebaikan seratus persen. Jika tidak maka berarti buruk. Ibn Abbas ketika memasuki markas mereka menjumpai kaum ekstrim dalam menjalankan apa yang mereka anggap sebagai kebaikan. Tangan mereka kasar dan kering karena bekerja dan jidat mereka melepuh bekas sujud. “Saya tidak pernah menjumpai satu kaum yang ijtihadnya melebihi mereka,” kata Ibn Abbas. Mereka tampaknya menganggap bahwa manusia harus seperti mereka. Jika tidak demikian maka berarti sudah keluar dari Islam.

Gugatan pertama menunjukkan kegagalan mereka melihat adanya hukum yang di satu sudut adalah hukum Tuhan dan di sudut yang lain adalah hukum manusia seperti kebanyak hukum-hukum fikih hasil ijtihad para ulama. Hukum fikih adalah hukum Tuhan karena sumbernya adalah firman-firman Allah dan sunnah Nabinya, dan karena dalam perumusannya mendasarkan pada niat mencari hukum Tuhan. Tapi ia juga hukum manusia karena merupakan hasil dari olah pikir. Imam Syafii bahkan menyebutnya sebagai ra’y, pendapat, yang dia sandarkan pada dirinya sendiri: “pendapatku adalah benar yang mungkin salah dan pendapat orang lain adalah salah yang mungkin benar.”

Ibn Abbas atas gugatan pertama ini mengatakan: Anggapan kalian bahwa dia (Imam Ali) telah bertahkim kepada manusia, maka sesungguhnya Allah membenarkan itu. Allah berkata:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.  Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” QS. Al-Maidah/5: 95.

Dan Allah juga berkata mengenai perselisihan antara seorang perempuan dan suaminya:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” QS. An-Nisaa/4: 35.

Demi Allah jawablah pertanyaanku! Apakah berhukum kepada manusia demi menjaga darah umat Islam dan jiwanya dan demi terciptanya kedamaian di antara mereka lebih haq ataukah berhukum kepada manusia dalam urusan kelinci yang harganya (cuma) seperempat dirham?

Gugatan kedua, yaitu bahwa Ali berperang tapi (kenapa) tidak mencaci dan tidak menjarah, adalah kegagalan melihat bahwa kerumitan hidup di dunia kadang mengharuskan untuk memerangi kelompok yang agamnya Islam. Bahkan mungkin di antara mereka terdapat orang-orang yang baik dan saleh. Situasi yang mengharuskan untuk berperang, maka tak perlu ada cacian apalagi penjarahan. Khawarij secara simpel berlogika: jika mereka diperangi berarti mereka talah keluar dari Islam dan karenanya harus dimaki dan dijarah hartanya.

Ibn Abbas ra. menjawab: gugatan kalian bahwa Ali berperang dan tidak mencaci dan menjarah, karena diantara lawan-lawan Imam Ali terdapat Bunda Aisyah. Apa kalian hendak mencaci Ibunda Aisyah? Atau kalian bahkan menganggap halal terhadap Bunda Aisyah segala apa yang kalian anggap halal terhadap yang lain? Jika kalian berprasangka demikian maka kalian telah kafir. Jika kalian menganggap bahwa Ibu Aisyah bukan ibu kalian maka kalian juga telah kafir. Allah telah berfirman:

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” QS. Al-Ahzab/33: 6.

Gugatan ketiga, bahwa jika Imam Ali mengapus dirinya sendiri dari status Amirul Mukminin maka berarti sekarang dia Amirul Kafirin, adalah siplifikasi yang ekstrim. Keruwetan politik tidak bisa disikapi dengan logika ekstrim semacam ini. Salah satu esensi politik adalah kesiapan bernegoisasi dengan kepentingan-kepentingan yang lain. Sikap ekstrim hanya akan melahirkan kebuntuan dan dipastikan akan berujung kepada angkat senjata atau undur diri dari gelanggang. Imam Ali rela berunding dengan Muawiyah—dengan keharusan tampak seperti berkedudukan yang sama—karena itu, dalam pandangannya, satu-satunya jalan terbaik demi menjaga darah umat Islam.

Ibn Abbas menjawab: Gugatan kalian, bahwa Imam Ali telah menghapus dirinya sendiri dari status Amirul Mukminin, ada contohnya dalam diri Rasulullah SAW. Rasulullah pada perang Hudaibiyah mengundang kaum Quraisy untuk menulis perjanjian di antara mereka. Kata Rasulullah: “tulis: ini adalah keputusan Muhammad utusan Allah.”
Orang-orang Quraisy protes:

“jika kami meyakini bahwa engkau adalah utusan Allah maka kami tidak akan menghalangimu dari baitullah dan kami juga tidak akan memerangimu. Tapi tulislah: Muhammad bin Abdullah.”

Nabi Muhammad lalu berkata:

“Demi Allah, saya adalah utusan Allah meski kalian membohongkan itu. Tulislah wahi Ali: Muhammad bin Abdullah.”


pontianak, untuk kehidupan yang lebih manusiawi ..
  • Blogger Comments

0 comments:

Post a Comment

Top