MA
Al-Anwar dan Pusat Peradabanya
Tahun 2009 adalah tahun pertama saya merasakan menjadi seorang santri,
ada rasa sedih memang, saya memang bukan kategori seorang pemberani, “ baru
tiga hari, dan saya harus bertahan disini selama 3 tahun???” ya, kalimat ini
selalu terucap dalam hati, tanpa saya perintah. Saya sendiri sampai sekarang
hampir tidak percaya karena ternyata kuat berada di Sarang. Bahkan lebih dari 3
tahun.
Saya merasa sangat beruntung karena Allah telah menempatkan saya di
sini, di tempat yang awalnya sangat membosankan, dan saya selalu merasa bukan
disini tempat saya, ini negeri orang. Tanpa saya kira hal itu sekarang malah berbalik, kini saya merasa disinilah tempat
saya, sumber masa depan. Dan yang lebih memnyenangkan adalah saya bisa menjadi
alumni MA al-Anwar, alhamdulillah J
**
“ jika terus berada pada zona aman maka kamu tidak akan pernah bisa
merasakan panasnya aroma peperangan”. Saya
tidak pernah tahu apa itu masa depan, maksutnya tentang apa yang harus saya
lakukan, hidup mati rasa, dalam arti singkatnya
yang saya tahu hanya bermain, makan jika lapar kalau sudah kenyang
tidur. Hidup dirumah memang aman-aman saja, tidak pernah tahu bagaimana keadaan
di luar. Jadi tidak punya tujuan yang greget. Dan beruntung sekali
karena disini saya, dan mungkin teman-teman semua sudah merasakan sendiri, kita bisa
menemukan landasan, untuk memulai terbang, setinggi kita mau. Dan tempat ini
membuatkan kita pintu mata untuk mengantar kita pada zona peperangan, yang
dahsyat, bukan hanya diam di rumah, menghadap televisi dengan ditemani
secangkir kopi.
Ada banyak sekali hal positif yang dapat kita apresiai dan acungkan
jempol untuk MA Al-Anwar, saya kagum, sangat kagum. Bagaimana sekolah ini mampu
mempertahankan proporsi ilmu, bagaimana seorang murid diajarkan untuk menjadi
penuntut ilmu, bukan penuntut angka, pendidikan kita ini sudah distandarkan,
lalu munculah sebuah lisensi kelulusan mengenai selesainya seorang pelajar pada
jenjang pendidikan tertentu, inilah metode yang sekarang digunakan. Namun
sayang niat baik manusia modern ini kurang bisa berjalan mulus di Indonesia,
pasalnya ilmu yang menjadi jati pencarian justru dilupakan dan yang dikejar
hanya lisensinya semata, kebudayaan ini sungguh sangat menyakitkan. Lalu mau
dibawa kemana lagi pendidikan negeri ini
?? Kemudian dengan PD-nya MA Al-Anwar muncul, tanpa sedikitpun mengikuti
kebudayaan diatas bahkan menepisnya dan tidak ikut-ikutan, ada banyak sekali
kisah yang membuktikan hal ini, diantaranya adalah ketika kami mendekati masa
UN kami diberi surat pernyataan untuk jujur dalam mengerjakan (sangat hebat dan
berani ) belum cukup sampai disni, setelah ujian, saya dan teman-teman ketahuan
kurang jujur dalam mengerjakan soal, kami ditegur dengan tegas “ apakah kalian
tidak percaya dengan doa para masayikh?”. Sungguh luar biasa, betapa ilmu
pengetahuan sangat dihargai, bukan menghargai lisensi. Boleh dibilang sekolah
ini kembali pada tabiat majlis ilmu yang begitu ideal, dan karena keberadaanya
di tengah-tengah keterbelakangan persepsi terhadap pengetahuan, maka sekolah
ini layak disebut “PUSAT PERADABAN”
Kemudian, saya juga melihat bagaimana khidmah yang besar dari seorang
santri, terutama para guru-guru di MA al-Anwar yang khidmahnya begitu besar.
Jadi inilah yang membedakan antara santri dan siswa sekolahan biasa, mereka
sudah tidak lagi mempercayai khidmah, padahal dari situlah sumber kesadaran
dapat kita temukan, saya kira kita akan lebih mudah memahami jalur hidup lewat
khidmah, terkadang kita menyadari dan mengetahui hal-hal berharga dengan tanpa
kita sadari, lewat khidmah.
Yang membuat saya mengangkat
jempol kesekian kalinya adalah kedalam ilmu para masayekh dan asatidznya,
sangat membuat saya heran. Nabi Bersabda :
“....انظروا
إلى من هو أسفل منكم، ولا تنظروا إلى من هو فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة
الله عليكم “
Hadits ini memang sering dimasukan dalam bab-bab syukur, kalau saya
artikan “ rasa puas “, saya tidak sedang menjelaskan esensi dari hadits diatas
atau bahkan sok mengetahuinya, tapi ingin menceritakan bahwa hadis ini sangat
memotifasi saya, memberi saya teori agar tidak pernah puas dalam masalah
pengetahuan, ketika kita melihat pada hal yang lebih tinggi maka akan muncul
rasa iri, dan ketika meilhat pada yang lebih rendah maka akan ada kepuasan
tersendiri, bagaimana jika teori ini kita terapkan pada hal yang positif?? kita terapkan dalam pengetahuan?? ya begitu.
Saya melihat banyak sekali orang alim disini. Singkatnya silahkan renungkan
sendiri.
Sekolah ini juga masih sangat peduli dengan ajaran dan norma-norma yang
memang sudah seharusnya menjadi budaya kita, syariat islam. Diantaranya
penjagaan antara siswa dan siswi disini sangat ketat, disatu sisi mungkin tidak
menyamankan sebagian besar siswa-siswi tapi disisi lain malah membuat teman
saya memuji hebat “ mungkin saya sudah menjadi ayah kalau sekolah diluar “.
**
Biaklah singkat cerita, sekolah yang sangat saya rindukan ini memberi
saya pribadi dan mungkin seluruh orang yang telah terjun di dalamnya banyak
pelajaran dan hikmah. jadi ucapan terimakasih dan syukur saja tidak akan cukup
mewakili apa yang diberikan oleh MA Al-Anwar kepada kita semua, wujud terimakasih
harus kita realisasikan dengan tindakan bukan cuma ucapan saja, saya jadi
teringat dengan selogan pak Dahlan Iskan “ Bekerja! Bekerja! Bekerja “, sangat
penuh semangat, manusia memang mampu berfikir, tapi sedikit yang memiliki ide
cemerlang, dari sekian banyak ide cemerlang hanya sedikit yang mampu
merealisasikan, bukan tidak mampu, tapi semangat perubahanya cenderung kurang,
jadi saya ingin mengajak pembaca untuk menjadi golongan orang sedikit tersebut!
Anda siap?! Mulailah dari diri kita sendiri.
jika hanya berfikir saja maka hanya rasa pusing yang kita dapat,
bertindak ! segera ! fokus !. mari kita berterimakasih kepada MA Al-Anwar,
kepada sekolah yang mengenalkan kita pada peradaban, berterimakasih bukan hanya
dengan sekedar ucapan. Harumlah MA Al-Anwar.
0 comments:
Post a Comment