Wednesday 28 May 2014

URGENSI PENDIDIKAN PESANTREN SALAF DALAM MEMBENDUNG ARUS SEKULERISME, PLURALISME & LIBERALISME

URGENSI PENDIDIKAN PESANTREN SALAF DALAM MEMBENDUNG ARUS SEKULERISME, PLURALISME & LIBERALISME

URGENSI PENDIDIKAN PESANTREN SALAF DALAM MEMBENDUNG ARUS SEKULERISME, PLURALISME & LIBERALISME

Menurut pandangan kami, pesantren mempunyai dua metode sudah ada dan terus berkembang untuk memahami kitab-kitab salaf yaitu metode sorogan dan metode bandongan. Metode pertama, santri membaca kitab di hadapan kiai atau ustadz, dan secara langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna, bahasa maupun pemahaman. Metode kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai atau ustadz sambil memberikan catatan pada kitabnya. Catatan ini bisa berupa syakl (harakat), mufrodat (kosakata), ataupun keterangan-keterangan tambahan dari kiai atau ustadz. Dan perlu ditegaskan bahwa pesantren salaf memiliki cara membaca tersendiri yang dikenal dengan utawi, iki, iku, sebuah metode membaca dengan pendekatan gramatika Arab (nahwu dan shorof) yang ketat.

Terbukti, dengan metode inilah pesantren mampu melahirkan ulama-ulama handal yang mumpuni dalam membaca berbagai kitab salaf dan menjadikannya referensi untuk menjawab berbagai permasalahan kekinian.

Jadi dengan metode ini nantinya santri tidak hanya bisa dan  pintar berbahasa arab saja, melainkan di samping bisa dalam berbahasa arab dia juga mahir dan lugas dalam membaca dan memahami kitab salaf.

Selain kedua metode di atas, di lingkungan pesantren telah berkembang  metode diskusi partisipatoris dan seminar antar santri (bahtsul masail) untuk membahas masalah-masalah kontemporer yang merujuk kepada kitab-kitab salaf. Jadi, metode-metode pembelajaran yang ada di pesantren sejak dulu sampai sekarang ternyata mampu beradaptasi dan menjawab tuntutan zaman serta menjadi benteng aqidah. Hanya dengan metode itulah pesantren dengan tradisi mengaji kitab-kitab salaf, baca al-Quran, wiridan, berkhidmah dengan selalu mengedepankan keikhlasan mampu membendung paham-paham radikalisme, komunisme, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, Syi’ah, Ahmadiyah dan lain sebagainya. Terbukti kebanyakan korban hipnotis yang dilancarkan oleh gerombolan NII dan Ma’had al-Zaitunnya itu adalah orang-orang di luar pesantren salaf.

Pesantren salaf sejak dulu ikut andil dalam membendung dan memerangi paham-paham sesat lewat halaqoh, bahtsul masa’il, buletin dan buku. Untuk menyerang Wahhabi pesantren salaf hadir dengan buku “Bid’ahnya Tuduhan Bid’ah” dari Pondok Pesantren al-Falah Ploso, Kediri. Juga hadir “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Muhammad Idrus Romli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Untuk mengungkap kesesatan tasawwuf modern ala Agus Musthofa hadir buku “Menelaah Pemikiran Agus Musthofa” karya A. Qusyairi Ismail dan Moh. Achyat Ahmad, keduanya santri Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Untuk membendung aliran sesat Syi’ah hadir buku ”Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)” Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan yang dipimpin Ahmad Qusyairi Ismail. Buku “Polaritas Sektarian“ sebuah buku yang mengungkap aliran-aliran sempalan dalam islam karya santri-santri Pondok Pesantren Lirboyo kediri. untuk membendung bahaya kufur paham liberal, sekuler dan plural hadir buku “Ancaman Liberalisme, Sekulerisme, Pluralisme Terhadap Eksistensi Ahlussunnah wal-Jamaah” dan “Ahlussunnah wal-Jama’ah Sebuah Identifikasi” buah karya kami sendiri, buku “Tanya Jawab tentang Syi’ah dan Pemikiran-pemikiran Wahhabi, Mutiara Ilmu Kalam, Perisai Tradisi dan Budaya Kaum Sunni” karya anak didik kami, Tim Penerjemah Ribath Darusshohihain Pondok Pesantren al-Anwar, Sarang, dan masih banyak lagi dan akan terus lahir karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi dari Pondok Pesantren Salaf untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan akidah yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, komunisme, humanisme, rasionalisme, pluralisme, feminisme, sekularisme, terorisme, radikalisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus dihadang dengan wacana-wacana salaf yang dipegang pondok pesantren salaf.

Pesantren juga menampilkan kajian-kajian kitab kontemporer karya ulama-ulama ahlussunnah madzahib arba’ah seperti kitab al-Fiqhu al-Manhaji karya Dr. Mushthofa al-Khin, Mushthofa al-Bugho, Ali al-Syarbaji, as-Salafiah Marhalatun Zamaniyatun Mubarokatun la Madzhabun Islamiyun, Fiqhussiroh, Kubrol Yaqiniyat, Dlowabitul Mashlahah karya Sa’id Romadlon al-Boethi, Rowa’iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Qur’an karya Syaikh Muhammad Ali al-Shobuni, al-Fiqh al-Islami karya Wahbah Zuhaili, Mafahim Yajibu an Tushohhah, Manhajussalaf Baina al-Nadhoriyah wa al-Tathbiq, Muhammad al-Insan al-Kamil, Syaroful Ummah al-Muhammadiyyah, Syari’atullah al-Kholidah, dll.  karya Abuya as-Sayyid Muhammad al-Maliki, al-Bayan Lima Yasygholu al-Adzhan karya Syaikh Ali Jum’ah, mufti Mesir.

Memasuki dekade 1990-an, muncul gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga tertinggi pesantren yang diberi nama Ma’had Aly. Dalam hal ini pesantren salaf langsung meresponnya dengan mengadopsi kitab-kitab kontemporer karya ulama-ulama ahlussunnah madzahib arba’ah tersebut di atas sebagai mata pelajarannya, dengan tanpa mengurangi kultur dan tradisi pesantren salaf yang melingkupinya. Program yang secara garis besar bertujuan untuk mengembangkan wawasan santri ini oleh pesantren salaf dilakukan secara berkala.

Jadi, ada dua pandangan mengenai posisi dan signifikansi kitab salaf di pesantren. Pertama, pesantren hanya mengadopsi kitab-kitab salaf saja dan tidak menerima kitab-kitab kontemporer sebagai referensi yang kandungan dan barokahnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Seperti: Shahih Bukhori karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al Mughiroh al Bukhori (wafat th. 256 H), Shahih Muslim karya Muslim bin al Hajjaj Abul Hasan al Qusyairi an Naisaburi (wafat th. 261 H), dan al-Kutub as-Sittah serta kitab al-Muwatho’ karya Imam Malik (wafat th. 179 H.).  Ihya’ Ulumuddin, Minhajul Abidin, Bidayatul Hidayah karya Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali, Fath al Qarib karya Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim al Ghazzi, Fath al Muin karya Zainuddin al Malibari, Fath al Wahhab Syarh Manhaj ath Thullab Karya: Syaikhul Islam Zakariya bin Muhammad bin Zakariya al Anshari (wafat th. 927 H). Al Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Syuja’ karya Muhammad al Khotib asy Syirbini, Kifayah al Akhyar fi Halli Ghayah al Ikhtishar karya Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad bin Husaini al Hishni, At Tanbih, Al Muhadzdzab karya Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al Fairuz Abadi asy Syirazi (wafat th. 476 H), Fathul Jawad Syarh al-Irsyad dan al Minhaj al Qowim karya Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Haytami (wafat th. 974 H), Ghoyatul Bayan Syarh Nadhm Zubad Ibni Ruslan karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (wafat th. 1004 H), dan kitab-kitab karangan Imam Nawawi seperti: Riyadlus Sholihin, al-Adzkar, Minhajut Tholibin, dan kitab-kitab tafsir yang mudah diajarkan di negeri kita, seperti: Tafsir Jalalain, Tafsir Khozin, Tafsir Baidlowi  dll.

Dalam fan Aqidah, pesantren salaf menurut kami cukup menggunakan kitab  Sulam at Taufiq, Aqidah al Awam, Jawahir al Kalam (terjemahan anak didik kami, “Mutiara Ilmu Kalam”), al Khoridah al Bahiyyah, Bad’ul Amali, al Kawakib al Lama’ah, ad-Durru al-Farid karya Syaikh Abul Fadlol Senori Tuban serta al-Aqidah al-Islamiyah wa Ususuha karya Abdul Rahman Hasan Habannakah yang sudah kami ringkas dan yang paling tinggi kitab Jauhar at Tauhid, Syarhnya, Taudlihul Murid karya Syaikh Bakri Rojab dan Husunul Hamidiyah karya Sayyid Husain Affandi. Untuk fan Tashawwuf cukup menggunakan kitab-kitab karya assayyid al Habib Abdullah bin Alawy al Haddad semisal Risalah al Mu’awanah, al Da’wah at Tammah, al Nashoih ad Diniyyah dan kitab Irsad al Ibad karya syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin al Malibary pengarang kitab Fath al Mu’in.

Kenyataan bahwa kitab-kitab salaf ditulis sejak lama dan terus dipelajari, diamalkan sesuai dengan kemampuan dari masa ke masa, membuktikan bahwa kitab-kitab salaf sudah teruji kerelevanan dan keberkahannya dalam sejarah yang panjang. Kitab-kitab salaf dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan bersandar pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas dalam segala bidang.

Kedua, pesantren, disamping mengadopsi kitab-kitab salaf, juga menerima dan mengadopsi kitab-kitab kontemporer karangan ulama-ulama ahlussunnah madzahib arba’ah semisal: Abuya as-Sayyid Muhammad al-Maliki, Said Romadlon al-Boethi, Syaikh Wahbah Zuhaili, Syaikh Ali As-Shobuni, untuk membantu referensi jawaban dari permasalahan kekinian yang semakin komplit. bukan kitab-kitab karangan ulama-ulama Wahhabi, seperti: Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (khususnya dalam keterangan seputar permasalahan tauhid uluhiyyah yang mengkafirkan orang bertawassul kepada nabi Muhammad dan orang-orang sholeh, dan permasalahan seputar tauhid asma’ was shifat yang tidak menerima ta’wil secara mutlak yang berakibat tajsim), Nashiruddin al-Albani, ataupun kitab-kitab kontemporer karya ulama-ulama di luar ahlussunnah madzahib arba’ah seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, Sayyid Quthb, Yusuf Qordlowi (dalam fatwa-fatwanya yang keluar dari madzahib arba’ah), apalagi buku-buku karya orang-orang liberal seperti: Hasan Hanafi, Muhammad Arkon, Nasr Hamid, dan lain sebagainya.

Untuk menjadikan pesantren tetap menjadi pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pendalaman kitab salaf harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pendalaman itu adalah penanganan kitab salaf dalam lapangan dan masa yang luas, termasuk yang lahir belakangan, al-kutub al-ashriyyah karya oleh ulama-ulama bermadzhab ahlussunnah madzahib arba’ah. Hanya dengan penguasaan kitab salaf dan kitab-kitab kontemporer yang berhaluan madzahib arba’ah itulah kreasi pemikiran keislaman yang serius di Indonesia tidak akan berhenti dan ayat al-Quran dibawah ini yang menjadi semboyan pesantren salaf dan akan terus ada yang mengamalkannya:

فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.  [التوبة: 122]



KESIMPULAN

Jelas sudah pesantren dalam mengakomodasi kesalafan mulai dari kerangka-kerangka dasar keilmuannya  melalui kitab salaf yang bermodel kuno ataupun kontemporer dalam bingkai madzahib arba’ah, menjadi ukuran bagaimana kesalafan itu harus di pertahankan dengan tanpa harus merubah kurikulum pesantren menjadi serba baru, karena dengan tanpa adanya perubahan itu pesantren dengan  metodenya (salaf) sudah bisa memposisikan dirinya dalam menghadapi tuntutan zaman.

Langkah kearah tersebut tampaknya telah dilakukan pesantren melalui sikap toleransi dan beradaptasi terhadap perkembangan teknologi modern yang tidak merusak lingkungan, moral, aqidah. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan zaman namun tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya, justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dari pesantren sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu hidup dalam alam modern/ global tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Inilah pesantren masa depan yang kami harapkan.

Semoga,….!!!


artikel ini saya dapatkan dari website Ribath DH ( Darussahihain ) PP. Al-Anwar Sarang
  • Blogger Comments

0 comments:

Post a Comment

Top