Saturday 15 June 2013

sedikit kisah tentang Mbah Maemoen (pengasuh PP. al-Anwar)

< a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtE9uXjRB5djbDjh1IzGYuuwh4nt6Z3rm62bqwwuxTTOHKiQdzzNDKnkwf4GVC5xI7Ib3n8AQqDPoNNMP9sWpZwW_DybMf6jBxg5XmNv3w3dm53-nmTUf5AmzpnmaQDItzrPyK5oDjvSvr/s320/1+convert.jpg"><img alt="mbah-maemoen" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtE9uXjRB5djbDjh1IzGYuuwh4nt6Z3rm62bqwwuxTTOHKiQdzzNDKnkwf4GVC5xI7Ib3n8AQqDPoNNMP9sWpZwW_DybMf6jBxg5XmNv3w3dm53-nmTUf5AmzpnmaQDItzrPyK5oDjvSvr/s320/1+convert.jpg" />
Bagaimana Mbah Moen  Mengapresiasi Pembantunya

Bapak Maftuh Shodiq Tambakboyo mungkin bukan siapa-siapa, bahkan mungkin tidak banyak santri yang mengenal dia. Tapi ketika pada 18 Juli 2008 beliau meninggal, Mbah Moen berkenan hadir dan ngimami sholat jenazah. Ketika berdoa, begitu pula ketika memberikan sambutan sebelum pemberangkatan jenazah, Mbah Moen sempat terisak menitikkan air mata. Siapakah sebenarnya Maftuh Shodiq bagi Mbah Moen, hingga kematiannya mampu mengharu-birukan perasaan Mbah Moen?

Maftuh Shodiq sebenarnya “hanyalah” seorang supir yang sudah sejak lama nderekke Mbah Moen. Saya sengaja memberikan tanda kutip pada kata “hanyalah”, sebab biasanya bagi seorang elit status supir tidak begitu penting. Tapi, tidak demikian halnya bagi Mbah Moen. Status supir atau status apapun yang berjasa, bagi Mbah Moen adalah sesuatu yang patut diapresiasi.

Ketika memberikan mauidlah dalam acara haflah akhir sanah di SMP Islam Tambakboyo, Mbah Moen berkali kali menyebut nama Maftuh Shodiq. Mbah Moen bercerita bagaimana saat Sidang MPR Pak Maftuh membelikan dasi untuk Mbah Moen. Hingga akhirnya Mbah Moen memiliki banyak dasi, karena setiap kali nederekke Sidang MPR Pak Maftuh selalu membelikan dasi. Apa yang dilakukan pak Maftuh mungkin terlihat remeh-temeh. Tapi ketika Mbah Moen menceritakannya dalam konteks memuji dan di depan khalayak, maka yang remeh-temeh menjadi terasa istimewa. Setidaknya dari cara Mbah Moen bercerita khalayak bisa menangkap, betapa dekatnya Pak Maftuh dengan Mbah Moen. Dan bagi Pak Maftuh tentu cerita itu merupakan sanjungan yang membanggakan.

Demikianlah salah satu cara Mbah Moen mengapresiasi pengikutnya. Apresiasi Mbah Moen juga terlihat dari bagaimana Mbah Moen memperlakukan supirnya. Mas Rozak Purworejo, salah seorang supir yang sudah sejak tahun 80-an hingga sekarang mengabdi kepada Mbah Moen, bercerita kepada saya bahwa setiap kali menginap di hotel Mbah Moen selalu menyuruh, bahkan memaksa, supirnya untuk tidur sekamar dengan beliau.

Masih menurut cerita Mas Rozak, suatu kali Pak Maftuh pernah menolak penghormatan untuk tidur sekamar dengan Mbah Moen. Pak Maftuh tidak bermaksud membangkang, tetapi takut hobi mendengkurnya akan mengganggu kenyamanan Mbah Moen. Namun Mbah Moen menolak dan tetap menyuruh Pak Maftuh tidur sekamar.

Sungguh suatu sikap yang jarang dan sulit ditemukan pada tokoh elit lain. Mudah menemukan kyai yang bersedia makan semeja dengan supirnya, tetapi jarang terjadi seorang kyai rela mengorbankan privasinya dan bersebelahan tempat tidur dengan supirnya. Padahal kalau mau, Mbah Moen bisa saja menyewakan kamar khusus supir yang harganya sangat murah. Tapi Mbah Moen tidak melakukan itu. Dan itulah bentuk lain apresiasi Mbah Moen terhadap supirnya.

Perhatian Mbah Moen terhadap supir juga terlihat dalam persoalan makan. Menurut Mas Rozak, Mbah Moen sering nglegakno singgah di rumah makan hanya untuk nyenengno supir. Suatu kali Mas Rozaq nderekke Mbah Moen. Pulangnya Mbah Moen ngersakke mampir di Rembang untuk mencari makan. Mas Rozaq berpikir: lho, bukankah tadi seusai pengajian sudah mampir di rumah makan, dan sekarang baru berselang empat jam? Di samping itu bukankah paginya Mbah Moen ada acara? Bukankah lebih baik sekarang segera sampai di rumah agar Mbah Moen punya cukup waktu untuk beristirahat? Dari peristiwa ini Mas Rozaq berkesimpulan bahwa maksud mampir untuk makan tadi semata-mata untuk neyenengno supir.

Tentang nyenengno supir, Pak Ifroyin Jenu dan sekarang tinggal di Tambakboyo, bercerita kepada saya bahwa Mbah Moen pernah ngendikani Pak Ifroyin, “Supir-supir pondok kuwi urusi. Nek pas ora lungo, jak metu mangan sing enak, yo.”

Sebuah keteladanan dari Mbah Moen yang sangat luar biasa. Mbah Moen tidak hanya nguwongke para asatidz dan pengurus teras, tetapi juga mengapresiasi semua pendereknya dari segala lapisan, termasuk supir, bahkan juga khodim ndalem.
Inilah implementasi dari sebuah hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا

Diceritakan dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki atau perempuan berkulit hitam yang biasa membersihkan masjid meninggal. Ketika kemudian Nabi tidak melihatnya lagi, Beliaupun menanyakannya. Para Sahabat menjawab, “Ia telah meninggal.” Lalu Nabi bersabda, “Mestinya kalian mengabarkanya kepadaku. Tunjukkan kepadaku dimana kuburnya.” Lalu Nabi mendatangi kuburan itu dan menyalati janazahnya. (Bukhori:438).

Ya, hanya seorang tukang sapu masjid berkulit hitam. Namun demikian Nabi mempedulikan keberadaannya.
  • Blogger Comments

0 comments:

Post a Comment

Top