Saturday, 22 March 2014

Workshop Kurikulum Standar peantren di STAI al-Anwar

bem stai al anwar

Kyai Muda se-jateng dan jatim membahas masa depan pesantren

Sarang – pesantren merupakan sebuah sistem pendidikan yang diwariskan oleh para ulama di Indonesia dan merupakan salah satu warisan budaya  yang harus terus dilestarikan, dengan menghilangkan pesantren berarti menghilangkan salah satu budaya warisan bangsa, namun bukan hal sepele dan gampang untuk mempertahankan pesantren terlebih pada era globalisasi seperti sekarang ini, banyak sekali problem-problem yang dihadapi para pengasuh pesantren, masa depan pesantren serta lulusanya itu sendiri.
Demi menangani hal tersebut sekitar 70 kyai muda sejateng dan jatim mengadakan sebuah pertemuan
Workshop Kurikulum Standar peantren di STAI al-Anwar
khusus, sebenarnya acara seperti ini sudah sering dilakukan sebelum-sebelumnya, meski terkadang membuahkan hasil yang belum mengerucut dan dirasa kurang memuaskan namun para kyai muda ini tetap tidak patah arah. Kanwil Kemenag Jateng yang sebenarnya pemilik program kegiatan seperti ini merasa sangat berbangga karena target sebenarnya hanya kawasan jawa tengah namun justru merambah sampai Jawa timur, acara tersebut digerakkan oleh GP ANSOR bekerja sama dengan Yayasan Pondok Pesantren Al-Anwar 3 dan berlangsung selama 2 hari satu malam. Untuk tempat pelaksanaanya bertempat di Gedung sekolah tinggi  Agama Islam ( STAI ) al-anwar pada tanggal 16 November 2013 dengan mengangkat tema, “Kurikulum Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional”, dengan mendatangkan lebih dari 7 nara sumber diantaranya KH. M. Najih Maimun, Drs. H. Nusron Wahid, M.Si, H.M. Arwani Thomafi dan KH Yahya C. Staquf.
Pasalnya tuntutan sosial yang dihadapi pesantren terhadap para alumnusnya yang kurang bisa terjun dengan gampang dimasyarakat, karena tuntutan dunia modern yang menuntut adanya sebuah ijasah resmi dari pemerintah, dan pesantren sampai saat ini masih belum bisa memenuhi kriteria kompetensi standar yang diajukan pemerintah, hal ini kemudian menyulitkan peran para ulumnusnya untuk berkhidmah langsung di masyarakat. namun bukan satu problem ini saja yang muncul banyak pula problem-problem lain.
Pada masa awal kemerdekaan masih banyak sekali alumnus-alumnus dari berbagai pesantren yang kemudian dapat dengan mudah memegang tampuk kepemimpinan secara formal seperti DPR, Hakim, Kepala daerah dan lain sebagainya, meskipun sempat meredup pada era orde baru, para alumnus pesantren pun bisa mengembalikan kiprahnya di lembaga-lembaga formal, puncaknya ketika  Gusdur menjabat sebagai presiden, namun sangat disayangkan karena pada tahun berikutanya ada sebuah keputusan baru dengan memformalkan segala bentuk kelembagaan resmi dan akhirnya ijazah pesantren pun tidak lagi dianggap karena dinilai tidak ada standar kesetaraan antara yang satu dengan yang lain, meskipun kemudian ada beberapa pondok pesantren yang menjawab tuntutan pemerintah dengan mengadakan sekolah formal. Namun tetap saja, akhirnya pesantren yang basisnya memang benar-benar salaf seolah menjadi bahan kosong yang sangat sulit dimasukan ke lembaga formal. Bahkan untuk menjadi guru SD saja membutuhkan ijasah S1.
Selain itu, berbagai bidang mata pelajaran yang ada di pesantren dinilai harus ada  pengkhususan bagi para santrinya, istilah berkejuruan pada satu bidang yang ditekuni, agar bisa maksimal dan sangat ahli dalam bidangnya, “ sekarang bukan lagi zamanya imam ghozali yang bisa melahap semua bidang ilmu “ terang gus Ghofur dalam Focus group discussion. meskipun begitu, pendidikan dasar pengetahuan tentang islam juga harus dipenuhi.
Pergeseran zaman dari agraris ke industrialis juga memberi tantangan baru terhadap pesantren, bagaimana cara agar pesantren mampu tetap exis pada era industrialis seperti ini. Dahulu, para lulusan pesantren memang mampu dengan mudah berperan aktif dalam masyaraktat, pasalnya kehidupan masyarakat yang masih agraris mempermudah mereka dalam terjun langsung, karena kebanyakan para santri di pesantren selain diajarkan me-ngaji  juga diajarkan bagaimana menjadi jiwa yang hikmah oleh kyainya,” kita harus mencari formula baru, kolam ikannya para santri zaman sekarang, sawah yang baru bagi para lulusan pesantren agar mereka tetep exis, sekaran bukan zaman agraris lagi” terang  Drs. H. Nusron Wahid, M.Si. dalam salah satu penyampaian materinya.
Kemudian, era globalisasi yang memberi dampak pada perubahan budaya sosial dan cara berfikir, kian memberi problem pada masa depan pesantren. Pasalnya, Pergeseran cara pandang masyarakat dalam kasus sosial dinilai kurang bisa dijawab oleh pesantren, pesantren dianggap kurang mampu memberi kontribusi dalam kehidupan mendatang kala menghadapi tuntutan sosial, hal ini mengakibatkan anime masyarakat untuk memasukan putra-putrinya ke pesantren semakin kurang.
Sesuai dengan asas para ulama modern, al-muhafadloh ala al-salaf al-sholih wa al-akhdu bi al-jadid al-aslah ( mempertahankan salaf yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). kaidah ini pula yang dikembangkan oleh pengasuh pondok pesantren dalam menangani berbagai problem. Seluruh kyai muda dalam forum tersebut serentak untuk tidak mengubah sedikit pun tentang salaf. Namun tetap mengambil hal baru yang sesuai kebutuhan yang lebih baik. Meskipun sedikit terdapat pro kontra dan debat mengenai penambahan apa yang sebenarnya cocok bagi pesantren pada masa sekarang ini dan bagaimana perubahan tersebut tidak membahayakan pada visi dasar pesantren, tafaqquh fiiddin, pasalnya banyak sekali para pengasuh pesantren yang terauma dengan beberapa pesantren salaf murni yang dimasuki lembaga formal,  dengan sistem ini para santri diharap mampu menjadi santri secara murni dan juga tetap siap menghadapi formalitas di masa mendatang, namun sangat disayangkan, pelajaran formal yang ditambahkan justru mendominasi lahapan pendidikan para santri di pesantren modern, lambat laun citra murni pesantren memudar seiring berjalanya waktu, dan misi dasar pesantren untuk mencetak generasi yang tafaqquh fiddin akan terlupakan.

Pada akhirnya tercapailah pengerucutan dari perdebatan tentang problem pesantren diatas bahwa salaf harus tetap dipertahankan dan tidak boleh diotak-atik. Kemudian demi memenuhi stadar kompetensi yang dirancang pemerint, maka akan dibentuklah sebuah tim dalam penanganan hal tersebut yag membuat penstandaran dengan baik.perlu juga di garis bawahi bahwa pembentukan tim ini bukanlah hasil final yang mana kelanjutan diskusi hanya berhenti pada tim tersebut, berbagai langkah akan erus dianjutkan diantaranya akan diadakan lagi pembahasan lanjutan mengenai problem santri yang rencananya akan dilaksanankan di magelang. 
  • Blogger Comments

0 comments:

Post a Comment

Top