Kyai Muda se-jateng dan jatim membahas masa depan pesantren
Sarang – pesantren
merupakan sebuah sistem pendidikan yang diwariskan oleh para ulama di Indonesia
dan merupakan salah satu warisan budaya
yang harus terus dilestarikan, dengan menghilangkan pesantren berarti
menghilangkan salah satu budaya warisan bangsa, namun bukan hal sepele dan
gampang untuk mempertahankan pesantren terlebih pada era globalisasi seperti
sekarang ini, banyak sekali problem-problem yang dihadapi para pengasuh
pesantren, masa depan pesantren serta lulusanya itu sendiri.
Demi menangani hal
tersebut sekitar 70 kyai muda sejateng dan jatim mengadakan sebuah pertemuan
khusus, sebenarnya acara seperti ini sudah sering dilakukan sebelum-sebelumnya,
meski terkadang membuahkan hasil yang belum mengerucut dan dirasa kurang
memuaskan namun para kyai muda ini tetap tidak patah arah. Kanwil Kemenag Jateng
yang sebenarnya pemilik program kegiatan seperti ini merasa sangat berbangga
karena target sebenarnya hanya kawasan jawa tengah namun justru merambah sampai
Jawa timur, acara tersebut digerakkan oleh GP ANSOR bekerja sama dengan Yayasan
Pondok Pesantren Al-Anwar 3 dan berlangsung selama 2 hari satu malam. Untuk
tempat pelaksanaanya bertempat di Gedung sekolah tinggi Agama Islam ( STAI ) al-anwar pada tanggal 16
November 2013 dengan mengangkat tema, “Kurikulum Pondok Pesantren dalam Sistem
Pendidikan Nasional”, dengan mendatangkan lebih dari 7 nara sumber diantaranya
KH. M. Najih Maimun, Drs. H. Nusron Wahid, M.Si, H.M. Arwani Thomafi dan KH
Yahya C. Staquf.
Pasalnya tuntutan
sosial yang dihadapi pesantren terhadap para alumnusnya yang kurang bisa terjun
dengan gampang dimasyarakat, karena tuntutan dunia modern yang menuntut adanya
sebuah ijasah resmi dari pemerintah, dan pesantren sampai saat ini masih belum
bisa memenuhi kriteria kompetensi standar yang diajukan pemerintah, hal ini
kemudian menyulitkan peran para ulumnusnya untuk berkhidmah langsung di
masyarakat. namun bukan satu problem ini saja yang muncul banyak pula
problem-problem lain.
Pada masa awal
kemerdekaan masih banyak sekali alumnus-alumnus dari berbagai pesantren yang
kemudian dapat dengan mudah memegang tampuk kepemimpinan secara formal seperti
DPR, Hakim, Kepala daerah dan lain sebagainya, meskipun sempat meredup pada era
orde baru, para alumnus pesantren pun bisa mengembalikan kiprahnya di
lembaga-lembaga formal, puncaknya ketika Gusdur menjabat sebagai presiden, namun sangat
disayangkan karena pada tahun berikutanya ada
sebuah keputusan baru dengan memformalkan segala bentuk kelembagaan resmi dan
akhirnya ijazah pesantren pun tidak lagi dianggap karena dinilai tidak ada
standar kesetaraan antara yang satu dengan yang lain, meskipun kemudian ada
beberapa pondok pesantren yang menjawab tuntutan pemerintah dengan mengadakan
sekolah formal. Namun tetap saja, akhirnya pesantren yang basisnya memang
benar-benar salaf seolah menjadi bahan kosong yang sangat sulit dimasukan ke
lembaga formal. Bahkan untuk menjadi guru SD saja membutuhkan ijasah S1.
Selain itu,
berbagai bidang mata pelajaran yang ada di pesantren dinilai harus ada pengkhususan bagi para santrinya, istilah
berkejuruan pada satu bidang yang ditekuni, agar bisa maksimal dan sangat ahli
dalam bidangnya, “ sekarang bukan lagi zamanya imam ghozali yang bisa melahap
semua bidang ilmu “ terang gus Ghofur dalam Focus group discussion.
meskipun begitu, pendidikan dasar pengetahuan tentang islam juga harus
dipenuhi.
Pergeseran zaman
dari agraris ke industrialis juga memberi tantangan baru terhadap pesantren,
bagaimana cara agar pesantren mampu tetap exis pada era industrialis seperti
ini. Dahulu, para lulusan pesantren memang mampu dengan mudah berperan aktif
dalam masyaraktat, pasalnya kehidupan masyarakat yang masih agraris mempermudah
mereka dalam terjun langsung, karena kebanyakan para santri di pesantren selain
diajarkan me-ngaji juga diajarkan
bagaimana menjadi jiwa yang hikmah oleh kyainya,” kita harus mencari formula
baru, kolam ikannya para santri zaman sekarang, sawah yang baru bagi para
lulusan pesantren agar mereka tetep exis, sekaran bukan zaman agraris lagi”
terang Drs. H. Nusron Wahid, M.Si. dalam
salah satu penyampaian materinya.
Kemudian, era
globalisasi yang memberi dampak pada perubahan budaya sosial dan cara berfikir,
kian memberi problem pada masa depan pesantren. Pasalnya, Pergeseran cara
pandang masyarakat dalam kasus sosial dinilai kurang bisa dijawab oleh
pesantren, pesantren dianggap kurang mampu memberi kontribusi dalam kehidupan
mendatang kala menghadapi tuntutan sosial, hal ini mengakibatkan anime masyarakat
untuk memasukan putra-putrinya ke pesantren semakin kurang.
Sesuai dengan asas
para ulama modern, al-muhafadloh ala al-salaf al-sholih wa al-akhdu bi
al-jadid al-aslah ( mempertahankan salaf yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik). kaidah ini pula yang dikembangkan oleh pengasuh pondok pesantren
dalam menangani berbagai problem. Seluruh kyai muda dalam forum tersebut
serentak untuk tidak mengubah sedikit pun tentang salaf. Namun tetap mengambil
hal baru yang sesuai kebutuhan yang lebih baik. Meskipun sedikit terdapat pro
kontra dan debat mengenai penambahan apa yang sebenarnya cocok bagi pesantren
pada masa sekarang ini dan bagaimana perubahan tersebut tidak membahayakan pada
visi dasar pesantren, tafaqquh fiiddin, pasalnya banyak sekali para
pengasuh pesantren yang terauma dengan beberapa pesantren salaf murni yang
dimasuki lembaga formal, dengan sistem
ini para santri diharap mampu menjadi santri secara murni dan juga tetap siap
menghadapi formalitas di masa mendatang, namun sangat disayangkan, pelajaran
formal yang ditambahkan justru mendominasi lahapan pendidikan para santri di
pesantren modern, lambat laun citra murni pesantren memudar seiring berjalanya
waktu, dan misi dasar pesantren untuk mencetak generasi yang tafaqquh fiddin
akan terlupakan.
Pada akhirnya
tercapailah pengerucutan dari perdebatan tentang problem pesantren diatas bahwa
salaf harus tetap dipertahankan dan tidak boleh diotak-atik. Kemudian demi
memenuhi stadar kompetensi yang dirancang pemerint, maka akan dibentuklah
sebuah tim dalam penanganan hal tersebut yag membuat penstandaran dengan baik.perlu
juga di garis bawahi bahwa pembentukan tim ini bukanlah hasil final yang mana
kelanjutan diskusi hanya berhenti pada tim tersebut, berbagai langkah akan erus
dianjutkan diantaranya akan diadakan lagi pembahasan lanjutan mengenai problem
santri yang rencananya akan dilaksanankan di magelang.
0 comments:
Post a Comment