Shalat dan Pengaruh Sosial
M. Akrom Adabi
Abstraksi
Shalat secara
etimologis berarti doa, Bisa jadi kata ini berasal dari bahasa Aramaic Shala
yang berarti ruku dan merunduk sebagaimana yang disangkakan Dr. Jawwad Ali, dan
kemudian digunakan oleh kaum yahudi sehingga menjadi istilah yang berorientasi
religious (Dr. Jawwad Ali. Sejarah
Shalat. Hal. 17 ). kita tahu bahwa setiap agama pasti memiliki ritual shalat,
orang yahudi biasa melaksanakannya di sinagog-sinagog mereka, atau para biksu
yang hanya berdiam diri di dalam kuil-kuil budha. Bahkan dulu penduduk jawa
yang terkenal animisme juga melakukan ritual shalat, biasanya mereka memberikan
sesembahan, namun bukan tuhan yang mereka sembah, melainkan perkara yang mereka
anggap memiliki kekuatan yang mampu merubah hidup mereka. Ada yang menjadikan
pohon sebagai sasaran ritual, batu atau benda lain yang dipercaya memiliki
kekuatan ghaib. Dalam islam sendiri
shalat merupakan simbol penghambaan kepada Allah, dan shalat telah memilki
definisi sendiri yang mengkerucut, biasanya ulama mendefinisikan shalat sebagai
ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan khusus yang dibuka dengan takbir dan
diakhiri dengan salam, dan ritual ini diberi Istilah shalat karena memang di
dalamnya di dominasi oleh doa-doa ( Fiqih Manhaji, Hal 61 ).
Selain itu, Shalat
biasa dimaknai sebagai media dimana seorang hamba mencoba berkomunikasi dengan
tuhan. Sehingga shalat seakan menjadi ritual yang hanya bisa dirasakan
per-individu seolah tidak memilki pengaruh sosial. Memang sangat sulit bagi
kita untuk melihat pengaruh sosial yang secara signifikan dapat kita rasakan,
karena perubahan sosial merupakan sesuatu yang relatif dan sulit untuk kita
ukur. Sebagaimana salah satu contoh dalam pembahasan kami, bahwa shalat memilki
pengaruh mampu meminimalisir kriminalitas. Namun pada kenyataannya juga banyak
orang-orang yang melaksanakan shalat tapi masih melakukan kriminal yang besar,
atau terlihat tidak ada bedanya antara yang shalat dan yang tidak shalat, dan
pada akhirnya tersimpulkan tidak ada pengaruh dalam shalat.
Terlepas dari semua
itu. Al-Quran telah menyimpulkan diantara ayat-ayatnya bahwa shalat mampu
merubah kehidupan sosial bukan sekedar ritual yang dampaknya hanya bisa
dirasakan perindividu saja, dan di sini kami akan coba membahas ayat-ayat
Al-Quran yang menyinggung antara shalat dan pengaruhnya dalam kehidupan sosial.
1.
Melatih Kedisiplinan
إِنَّ
الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103)
Artinya : “ Sungguh Shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman ” ( QS.
al-Nisa : 103 )
Shalat lima waktu
merupakan kewajiban bagi kita, dalam shalat tersebut terdapat waktu-waktu yang
telah ditetapkan dan kita harus melaksanakan shalat berada pada waktu-waktu
tersebut, atau seperti yang dijelaskan oleh al-Sya’rawy dimana kita seolah
diperintahkan untuk melaksanakan shalat tanpa mengakhir-akhirkan dan
menunda-nunda, bahkan dalam keadaan apapun( Tafsir al-Syarawy, Hal. 1785 ). Apabila
kita keluar dari batas waktu yang telah ditentukan maka kita wajib bergeggas
melaksanakan shalat tersebut. Dalam kesempatan lain juga terdapat ayat yang
berbunyi senada:
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238)
Artinya: “ Peliharalah
semua shalat dan shalat wustha, dan laksanakanlah ( Shalat ) dengan khusyu’ ” (
QS. Al-Baqarah : 238)
Secara tidak langsung
shalat melatih kita untuk disiplin dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebagaimana
kita diperintah untuk disiplin dalam melaksanakan shalat. Bahkan Nabi pernah bersabda
bahwa amal yang paling disukai Allah adalah mendahulukan shalat diawal waktunya
( Ibnu Katsir. Hal 645 ).
Tentunya setiap
manusia memilki kewajiban lain selain shalat. Seorang pelajar misalnya, ia
diwajibkan masuk sekolah pada jam 07.00 WIB, para pegawai, para pekerja dan
semua orang pasti tidak lepas dari tugas kewajibannya. Dan shalat mendorong
kita untuk terlatih dalam disiplin serta teratur.
2.
Meminimalisir Kemunkaran
……إِنَّ
الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45)
Artinya : “ Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (
perbuatan ) keji dan munkar, dan ( ketahuilah ), mengingat Allah ( Shalat ) itu
lebih besar ( keutamaanya dari pada ibadah yang lain ). Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” ( QS. Al-Ankabut : 45 )
Dalam dunia sosial
kita sering menemui tindak kriminalitas, dan dengan adanya ayat ini kita bisa
tahu bahwa ternyata dengan melaksanakan shalat, sedikit banyak shalat mampu
merubah pola pikir seseorang untuk tidak melakukan tindak kriminal. Tapi secara
tidak langsung kita juga dihadapkan dengan kenyataan dimana orang yang shalat
ternyata justru banyak juga melakukan kemunkaran. seolah tidak ada
bedanya antara yang shalat dan yang tidak shalat, dan pada akhirnya
tersimpulkan tidak ada pengaruh dalam shalat. Lalu mana posisi kejelasan ayat
diatas??
Ada 2 penjelasan yang
dapat kami temukan mengenai fenomena diatas :
Pada suatu kesempatan
Nabi pernah ditanyai mengenai ayat ini, kemudian nabi menjawab : “ Barang siapa
yang shalatnya tidak mencegah dari kemungkaran dan kejelakan, maka sebenarnya
tidak ada shalat darinya” ( Ibnu Katsir, Hal. 280 ) sehingga dapat tergambarkan
mungkin shalat yang dilakukan dalam konteks diatas belum menemukan esensi dari
shalat yang sesungguhnya. Persis seperti sindiran Gus Mus dalam Puisinya “ shalat
kita rasanya lebih buruk dari senam Ibu-ibu, Lebih cepat daripada menghirup
kopi panas, Dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda ” ( http://www.akromadabi.com/2014/10/puisi-gus-mus-selamat-tahun-baru-kawan.html
).
Lebih lanjut kami
menemukan gambaran yang ke dua. Bahwa kita telah sepakat kalau Al-Quran
bukanlah sekedar dogma, maka kita tahu tiap esensi yang ada dalam Al-Quran
merupakan hal yang memang benar adanya. Termasuk ketika Al-Quran berbicara
megnenai shalat mampu mencegah kemungkaran. Maka kami berkesimpulan bahwa
kriminalitas merupakan hal yang relatif besar kecilnya dan begitu pula dengan
meminimalisir kriminalitas juga hal relatif pula. Oleh sebab itu kita cukup
yakin, jika tidak dilaksanakan shalat maka kemunkaran akan lebih merata atau
istilah kerennya mem-booming. Dan dengan pelaksanaan shalat, kemungkaran
mampu terminimalisir. Hal ini lantaran dalam shalat terdapat 3 esensi
sebagaiamana yang dipaparkan oleh Abu Al-Aliyah, yakni keihklasan, ketakutan
dan mengingat Allah. Dengan keikhlasan ia akan terdorong untuk berbuat kebaikan,
dengan ketakutan ia akan terhindar dari perbuatan buruk dan dengan mengingat
Allah ia akan melaksanakan keduanya (Ibnu Katsir, Hal, 282).
3. Bangkit dari
Keterpurukan
إِنَّ
الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19)
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20)
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
(21) إِلَّا الْمُصَلِّينَ (22)
الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23)
Artinya : “ Sungguh manusia diciptakan suka mengeluh () Apabila
ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah () dan apabila mendapat kebaikan ( harta ),
ia jadi kikir () kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat () mereka yang
tetap setia melaksanakan shalatnya” ( QS. Al-Maarij : 19-23)
Negara Indonesia
sebagai negara berkembang yang didominasi penduduk muslim seharusnya lebih
memperhatikan aspek ini, ketika ayat al-Quran menyinggung “Apabila ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah “, mungkin keluh kesah ketika keterpurukan adalah
sifat yang manusiawi, tetapi bagaimana jika ternyata Al-Quran memberi motivasi
dengan mengatakan “ kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat, mereka yang
tetap setia melaksanakan shalatnya “ Al-Quran telah menjelaskan dimana shalat
seharusnya mampu menghilangkan sifat putus asa pada seseorang, dan setidaknya
dengan hilangnya rasa inferior ini kita memilkii semangat baru. Terlebih dalam
setiap selesai melakukan Ibadah shalat. Namun dalam pendapat lain dikatakan bahwa
arti dari konsistensi yang dimaksud disini adalah sebuah kekhusyuan (Ibnu Katsir. Hal 226 ), jadi jelas shalat
saja belum mampu mewakili penghilangan rasa inferior tersebut, melainkan harus
shalat yang dibarengi dengan rasa khusyu’. Dan pada akhirnya kami ingin
mengatakan, bahwa kebangkitan suatu bangsa itu dimulai dari tiap warganya.
Kami juga menemukan
komentar Nabi Danial mengenai Umat Nabi Muhammad yang oleh Qatadah dianggap
berkaitan dengan ayat “ الَّذِينَ
هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ” : “ Umat
Muhammad melaksanakan suatu shalat yang jika kaumnya Nabi Nuh shalat seperti
itu mereka tidak akan tenggelam, atau kaum Ad maka mereka tidak akan dikirimi
tragedi angin…….. ” [1]
4. Mengangkat
Perekonomian
إِنَّ
الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا
مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21) إِلَّا
الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23)
Ketika kita
melaksanakan shalat dengan penghayatan maka kebanyakan dari kita pasti
merasakan rasa ketenangan. Lantaran dalam shalat kita diajak untuk seolah
berhadapan dengan Allah sehingga muncul sebuah rasa dimana tidak ada penolong
dan pemberi selain Allah ( Fiqh Manhaji. Hal, 61 ), atau istilahnya kembali
menguatkan Tawakal. Dan orang yang konsisten dalam melaksanakan shalat maka ia
akan merasakan dimana kebaikan yang oleh al-Razy ditafsiri sebagai harta dan
kekayaan, maka hal tidak menenggelamkannya dan begitu sebaliknya ketika
kejelekan yang menurut al-Razy adalah sebuah kefaqiran hal itu tidak membuatnya
cepat gelisah ( Tafsir al-Razy, Hal. 31
). Bahkan ketika seseorang mendapatkan kenikmatan berupa harta yang melimpah ia
tidak akan segan-segan untuk menshadaqahkannya. Dan dengan rasa tidak terikat
dengan harta inilah semestinya mampu membentuk jaringan dimana para penduduk
saling menopang perekonomian, dimulai dari sikap yang tidak diperbudak oleh
harta atau kenikmatan lain yang sejatinya mampu untuk saling berbagi.
Kesimpulan
Shalat merupakan media komunikasi
seorang hamba kepada tuhan, meskipun begitu tidak berarti shalat tidak memiliki
pengaruh sosial dalam kehidupan sehari-hari, dan kami telah memaparkan beberapa
pengaruh shalat dalam kehidupan sosial melalui ayat-ayat Al-Quran. Diantaranya
melatih kedisiplinan, meminimalisir kemungkaran, mengangkat perekonomian bahkan
bangkit dari keterpurukan suatu komunitas. Demikian pemaparan kami, segala puji
bagi Allah. Wallahu a’lam.
[1] وقال
قتادة في قوله: { الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ دَائِمُونَ } ذُكر لنا أن
دانيال، عليه السلام، نعت أمة محمد صلى الله عليه وسلم فقال: يصلون صلاة لو صلاها
قوم نوح ما غرقوا، أو قوم عاد ما أرسلت عليهم الريح العقيم، أو ثمود ما أخذتهم
الصيحة. فعليكم بالصلاة فإنها خُلُق للمؤمنين حسن Ibnu Katsir, Hal 227
blognya berat bangeeet
ReplyDeletehehe, dinikmati dulu gan. dalam proses perbaikan
Delete