Saturday 2 May 2015

Ngopi Bareng Ibu Kartini

Ngopi Bareng Ibu Kartini
Nostalgia Di Warung Kopi
Sudah lama saya tidak menyeduh kopi di kedai sebelah, jadi serasa tidak menemukan waktu yang pas untuk menuangkan gagasan yang selama ini hanya beranak di dalam batin. Menuangkannya lewat tulisan? Baiklah mumpung masih panas yang namanya “Kartini” meskipun tak senikmat kopi hitam atau seperti status Ibnu Zubair “ bagaimana jika sesekali jangan kopi hitam, kawan?? Tapi cappucino…”. Jadi, selamat menikmati. Saya pun akan sibuk menyeduhnya beberapa jam ini.
Baru berselang beberapa hari lalu kita melewati hari kartini, saya secara pribadi tidak tahu harus menanggapi bagaimana tentang hari itu, tentang pro kontra yang terus banyak didiskusikan, diperdebatkan, atau sekedar diposting untuk peramai dinding facebook.
Di tulisan ini saya tidak ingin kembali memuji, atau malah menghujat sana-sini. Hanya sedang belajar menjadi warga yang baik, menjadi mahasiswa yang baik dan tentunya santri yang baik pula. Meminum kopi tanpa merayu mbak penjaganya J o0ps….bukan Mbak Kartini lho
Karena Menulis Namanya Dikenang
Bagi negara Indonesia, isu emansipasi biasanya akan kembali mengemuka dan ramai diperbincangkan pada 21 April, hari itu diperingati secara nasional dalam rangka mengenang perjuangan beliau demi mengangkat harkat dan hak-hak wanita.  Meski sebenarnya ada juga  beberapa wanita Indonesia yang ikut berjuang dulu bahkan melawan penjajah secara langsung seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika dan lain-lain. Bisa jadi anda selanjutnya. Perempuan-perempuan ini sesungguhnya juga merupakan Kartini di bidangnya masing-masing yang namanya hampir seperti bunga mawar yang sudah dipetik satu minggu lalu. Duh, malangnya, biar pun begitu mereka tetaplah bunga.
Lagi-lagi, kisah kartini yang memenuhi lembar koran nasional itu kembali memaksa saya untuk percaya pada ungkapan “ dengan menulis umur kita akan semakin panjang”. Saya lebih percaya hal ini karena tulisan kartini yang ditulis dalam surat-suratnya banyak didokumentasikan terutama oleh lawan “chatting” yang menjadi gurunya itu, J.H. Abendanon yang kemudian banyak diedarkan, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kartini adalah wanita sejarah, yang menurut saya akan menjadi sia-sia jika semangat juangnya - maksud saya bukan memperjuangkan wanita saja, tapi sikap juang dan semangatnya yang menggebu, patut untuk kita contoh- hanya menjadi perayaan tahunan tanpa kita tidak benar-benar mampu menjadi pemuda dan pejuang bangsa ini. Sebagai abdi yang rela berpuasa demi, sebagai abdi yang kenyang hanya dengan satu suapan, sebagai abdi yang rela berjuang keras untuk bangsa ini.
Mau Aja Diemansipasi
Masih tentang wanita. Pada pemilu kita, ada yang “lucu” (menurut saya) ketika setiap partai yang berlaga di pemilu DPR wajib menyediakan 30% quota untuk perempuan, alasannya beragam.  Tapi bukankah ini penghinaan untuk kaum wanita. Mereka harus berada di parlemen bukan karena mereka benar-benar hebat tetapi karena dikasihani sebab kewajiban mengisi quota 30%.
Undang-Undang Pemilu Nomor 8 tahun 2012, pasal 59 ayat (2) secara halus menegaskan keterwakilan tersebut: ”Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut”.
Pertanyaannya adakah undang-undang dari dulu mewajibkan 100, 80, atau 50 % quota untuk laki-laki? Sehingga kewajiban quota 30% dengan alasan biar lebih relevan justru sebuah penghinaan? Seolah wanita tidak mampu mencapai quota tersebut.
Habis Terang Terbitlah Pagi
Tidak terasa subuh sudah hampir tiba, masih ada banyak hal yang masih ingin saya bicarakan di sini, lagi pula kopi juga telah habis tak enak rasanya jika harus membuat kopi lagi. Sampai jumpa di diskusi selanjutnya gan….


  • Blogger Comments

0 comments:

Post a Comment

Top