Nostalgia Di
Warung Kopi
Sudah lama saya tidak menyeduh kopi
di kedai sebelah, jadi serasa tidak menemukan waktu yang pas untuk menuangkan
gagasan yang selama ini hanya beranak di dalam batin. Menuangkannya lewat
tulisan? Baiklah mumpung masih panas yang namanya “Kartini” meskipun tak
senikmat kopi hitam atau seperti status Ibnu Zubair “ bagaimana jika sesekali
jangan kopi hitam, kawan?? Tapi cappucino…”. Jadi, selamat menikmati. Saya pun
akan sibuk menyeduhnya beberapa jam ini.
Baru berselang beberapa hari lalu
kita melewati hari kartini, saya secara pribadi tidak tahu harus menanggapi
bagaimana tentang hari itu, tentang pro kontra yang terus banyak didiskusikan,
diperdebatkan, atau sekedar diposting untuk peramai dinding facebook.
Di tulisan ini saya tidak ingin
kembali memuji, atau malah menghujat sana-sini. Hanya sedang belajar menjadi
warga yang baik, menjadi mahasiswa yang baik dan tentunya santri yang baik pula.
Meminum kopi tanpa merayu mbak penjaganya J o0ps….bukan Mbak Kartini
lho
Karena Menulis
Namanya Dikenang
Bagi negara Indonesia, isu emansipasi
biasanya akan kembali mengemuka dan ramai diperbincangkan pada 21 April, hari
itu diperingati secara nasional dalam rangka mengenang perjuangan beliau demi
mengangkat harkat dan hak-hak wanita. Meski sebenarnya ada juga beberapa wanita Indonesia yang ikut berjuang
dulu bahkan melawan penjajah secara langsung seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak
Meutia, Dewi Sartika dan lain-lain. Bisa jadi anda selanjutnya. Perempuan-perempuan
ini sesungguhnya juga merupakan Kartini di bidangnya masing-masing yang namanya
hampir seperti bunga mawar yang sudah dipetik satu minggu lalu. Duh, malangnya,
biar pun begitu mereka tetaplah bunga.
Lagi-lagi, kisah kartini yang
memenuhi lembar koran nasional itu kembali memaksa saya untuk percaya pada
ungkapan “ dengan menulis umur kita akan semakin panjang”. Saya lebih percaya
hal ini karena tulisan kartini yang ditulis dalam surat-suratnya banyak
didokumentasikan terutama oleh lawan “chatting” yang menjadi gurunya
itu, J.H. Abendanon yang kemudian banyak diedarkan, Habis Gelap Terbitlah
Terang.
Kartini adalah wanita sejarah, yang
menurut saya akan menjadi sia-sia jika semangat juangnya - maksud saya bukan
memperjuangkan wanita saja, tapi sikap juang dan semangatnya yang menggebu,
patut untuk kita contoh- hanya menjadi perayaan tahunan tanpa kita tidak benar-benar
mampu menjadi pemuda dan pejuang bangsa ini. Sebagai abdi yang rela berpuasa
demi, sebagai abdi yang kenyang hanya dengan satu suapan, sebagai abdi yang
rela berjuang keras untuk bangsa ini.
Mau Aja
Diemansipasi
Masih tentang wanita. Pada pemilu
kita, ada yang “lucu” (menurut saya) ketika setiap partai yang berlaga di
pemilu DPR wajib menyediakan 30% quota untuk perempuan, alasannya beragam. Tapi bukankah ini penghinaan untuk kaum
wanita. Mereka harus berada di parlemen bukan karena mereka benar-benar hebat
tetapi karena dikasihani sebab kewajiban mengisi quota 30%.
Undang-Undang Pemilu Nomor 8 tahun
2012, pasal 59 ayat (2) secara halus menegaskan keterwakilan tersebut: ”Dalam
hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota
memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal
calon tersebut”.
Pertanyaannya adakah undang-undang dari
dulu mewajibkan 100, 80, atau 50 % quota untuk laki-laki? Sehingga kewajiban
quota 30% dengan alasan biar lebih relevan justru sebuah penghinaan? Seolah
wanita tidak mampu mencapai quota tersebut.
Habis Terang
Terbitlah Pagi
Tidak terasa subuh sudah hampir tiba,
masih ada banyak hal yang masih ingin saya bicarakan di sini, lagi pula kopi
juga telah habis tak enak rasanya jika harus membuat kopi lagi. Sampai jumpa di
diskusi selanjutnya gan….
0 comments:
Post a Comment