Berdakwah di Era Teknologi Informasi: Mengubah Ancaman Menjadi Peluang
oleh: Moh Najib Bukhori
oleh: Moh Najib Bukhori
A. Pendahuluan
Revolusi teknologi informasi telah mengubah dunia menjadi desa kecil. Revolusi teknologi informasi telah mengubah pola interaksi manusia dan mengakibatkan pergeseran nilai. Tingkat persaingan di segala bidang semakin tinggi dan terbuka.
Kemajuan teknologi informasi telah mendorong terbentuknya kecenderungan individualistis
Revolusi teknologi informasi telah mengubah dunia menjadi desa kecil. Revolusi teknologi informasi telah mengubah pola interaksi manusia dan mengakibatkan pergeseran nilai. Tingkat persaingan di segala bidang semakin tinggi dan terbuka.
Kemajuan teknologi informasi telah mendorong terbentuknya kecenderungan individualistis
Arus informasi dari berbagai belahan dunia sulit dibendung. Terbentuklah pasar bebas informasi tempat bersaing berbagai ideologi, pengaruh dan opini. Suguhan pornografi, sadisme, terorisme dan hedonisme bisa setiap hari menampilkan dirinya sembari meyakinkan kepada khayalak bahwa itulah cara hidup yang baik dan benar. Marxime, materialisme dan anti tuhan bisa setiap saat menyambangi kita sembari menawarkan dirinya sebagai jalan keselamatan.
Di sisi lain, teknologi informasi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan misi dakwah islam. Menurut data statistik, pada tahun 2012 pengguna internet di seluruh dunia mencapai 2,5 miliar, 63 juta diantaranya adalah pengguna Indonesia. (Internetworlst
Pendeknya, perkembangan teknologi dapat menjadi ancaman sekaligus peluang bagi misi dakwah Islam. Pertanyaannya adalah bagaimana ancaman itu dapat diatasi dan peluang itu dapat dimanfaatkan, sehingga perkembangan teknologi dapat menjadi berkah, bukan musibah, bagi misi dakwah Islam?
B. Pengertian dan Tanggung Jawab Dakwah
Secara etimologis dakwah berarti ajakan atau seruan. Secara terminologis dakwah adalah menyampaikan, mengajarkan dan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Allah berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (ال عمران: 104)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (يوسف: 108)
Makna yang sama juga ditekan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Ia bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً (البخاري: 3461)
Di samping sebagai penyampaian ajaran Islam, dakwah juga merupakan upaya pembimbingan dan pembinaan terhadap prakarsa umat menuju penerapan ajaran Islam. Hal ini tercermin dari tugas Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, sebagaimana termakktub dalam firman Allah:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ
Ayat tersebut di atas menunujukkan bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam tidak hanya menyampaikan, tetapi juga mengajarkan, membimbing dan membina sahabat-sahabat
Ajaran Islam yang bersumber dari ayat-ayat Allah dan sabda Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam bertujuan memberikan kesejahteraan, baik di dunia maupun akhirat. Allah berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص:77)
Dengan demikian dakwah bertujuan menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi umat manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah upaya menciptakan kehidupan sejahtera bagi umat manusia di dunia dan akhirat dengan menyampaikan, mengajarkan dan menerapkan ajaran Islam dalam keseharian umat. Dakwah bukan sekedar orasi mimbar atau pengajian akbar, tanpa memperhatikan, sejauh mana umat telah memahami dan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Siapakah yang bertanggung jawab mengemban tugas dakwah?
Pada dasarnya setiap orang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. Kesejahteraanny
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (التحريم: 6)
Apa yang dilakukan Rasulullah juga menunjukkan bahwa kesejahteraan dunia juga menjadi tanggung jawab personal tiap orang. Suatu kali seseorang datang kepada rasulullah dan meminta. Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam tidak memberinya, melainkan memerintahkanny
أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ، فَقَالَ: «أَمَا فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ؟» قَالَ: بَلَى، حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ، وَقَعْبٌ نَشْرَبُ فِيهِ مِنَ الْمَاءِ، قَالَ: «ائْتِنِي بِهِمَا» ، قَالَ: فَأَتَاهُ بِهِمَا، فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ، وَقَالَ: «مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ؟» قَالَ رَجُلٌ: أَنَا، آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ، قَالَ: «مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ، أَوْ ثَلَاثًا» ، قَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ، وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ
Di sisi lain manusia juga memiliki tanggung jawab kolektif untuk menciptakan kehidupan bersama yang sejahtera di dunia dan akhirat. Rasullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (البخاري: 13)
Jika seseorang menginginkan kesejahteraan di dunia dan akhirat bagi dirinya, maka ia juga harus menginginkannya
ليس المؤمن الذي يشبع وجاره جائع (البخاري، الادب المفرد: 112)
Bahkan sikap acuh terhadap kemungkaran yang terjadi di lingkungannya akan mendatangkan bencana. Allah berfirman :
كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (المائدة: 79)
Makna yang sama juga disabdakan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ (الترمذي: 2168)
Dengan demikian dakwah pertama dan terutama menjadi tangungg jawab personal. Dalam konteks ini sasaran dakwah sekurang-kurang
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (طه: 132)
Tanggung jawab personal juga diwujudkan dalam bentuk partisipasi dalam mencapai masyarakat yang sejahtera dunia dan akhirat. Pada saat yang sama dakwah juga menjadi tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan dan sesamanya.
C. Perubahan Melalui Aras Atas Budaya
Mengacu definisi di atas, seorang da’i adalah agen perubahan soasial. Tugas seorang da’i adalah melakukan perubahan sosial dan budaya menuju sistem nilai dan sistem sosial yang selaras dengan ajaran Islam. Ada tiga wujud budaya, yaitu: sistem nilai, sistem perilaku dan artefak. Secara mudah ketiga wujud budaya ini dapat digambarkan sebagai berikut. Suatu masyarakat yang meykini pentingya pendidikan akan bersekolah, dan agar orang-orang dapat bersekolah maka dibangunlah sekolahan. Sekolahan adalah wujud artefak dari budaya; bersekolah adalah wujud sistem perilaku dari budaya; dan keyakinan tentang pentingnya sekolah adalah wujud sistem nilai dari budaya.
Perubahan budaya bisa dimulai dari aras artefak. Misalnya, selama ini kencing berdiri dianggap tabu, dan karenanya orang tidak akan kencing berdiri kecuali ia siap mendapatkan sanksi sosial. Tetapi dengan banyaknya fasilitas umum yang hanya menyiapkan orang untuk kencing berdiri, maka orang akan terbiasa kencing berdiri. Ketika perilaku kencing berdiri teru menerus dilakukan dalam skala masif, maka perilaku kencing berdiri tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan. Pada gilirannya perilaku ini akan melhirkan nilai baru, yaitu ketidaktabuan kencing berdiri, menggeser nilai lama yang menabukan kencing berdiri. Dari artefak yaitu fasilitas kencing berdiri, lahir sistem perilaku kencing berdiri, dan berakhir dengan lahirnya nilai baru: ketidak-tabuan kencing berdiri.
Terkait hal tersebut di atas, ketika kita sedang berpikir bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk kepentingan dakwah, sesungguhnya teknologi itu sendiri telah melakukan “dakwah” dengan caranya sendiri. Terlepas apakah teknologi bebas nilai atau tidak, ia telah mengkondisikan suatu perubahan pola perilaku. Media sosial seperti facebook dan BBM, misalnya, secara tidak langsung telah mengubah pola interaksi antar person. Dengan kedua media sosial ini, seseorang dapat terjebak dalam obrolan panjang yang menyita waktu sembari mengabaikan kawan, keluarga atau tetangga yang secara fisik nyata-nyata berada di dekatnya. Pada gilirannya pola interaksi tersebut akan membawa perubahan baru dalam konsep pertemanan, persepsi kedekatan hubungan dan nilai-nilai silaturrahmi.
Ini hanya salah satu contoh kecil yang berdampak besar. Dan inilah salah satu ancaman bagi dakwah Islam. Mampukah para da’i menjadikan artefak Facebook dan media sosial lainnya sebagai pendorong dan pencipta atmosfer yang mengarah kepada nilai-nilai Islam.
D. Belajar Dari Ka’bah, Bukit Safa dan Marwa
Sebelum Islam datang, Ka’bah telah menjadi pusat pertemuan musiman suku-suku Arab di seluruh semenanjung Arab. Di samping untuk melaksanakan tradisi ritual, pertemuan musiman itu juga mereka manfaatkan untuk kepentingan ekonomi, sosial dan politik. Tradisi ritual yang mereka lakukan tidaklah seperti ibadah haji yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan jauh dari segala bentuk maksiat. Dalam keadaan telanjang mereka mengelilingi Ka’bah sambil bersiul dan bertepuk. Dan di dalam Ka’bah terdapat ratusan berhala yang menjadi sembahan mereka. Patung-patung juga terdapat di bukit safa dan marwa. Setiap sampai di kedua bukit tersebut, patung-patung itu, mereka sembah.
Ketika Islam datang, Ka’bah tidak dihancurkan, melainkan dibersihkan dari praktik-praktik
Uraian di atas menggambarkan bahwa Ka’bah sebagai artefak budaya merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan perilaku ritual. Pada masa jahiliyah perilaku ritual itu berwujud tindakan-tindak
Artefak budaya yang bernilai positif tetapi memiliki ekses negatif tidak direspon dengan menjauhinya. Justru sebaliknya, Islam berjuang keras bagimana artefak budaya tersebut bisa menjadi perwujudan dari perilaku ritual yang sesuai dengan ajaran Islam. Perjuangan itu dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai Islami kepada masyarakat setempat. Ka’bah yang semula menjadi tempat pemujaan berhala dan perilaku maksiat diubah menjadi tempat mengesakan Allah dan perilaku saleh
Dengan demikian artefak budaya yang memiliki nilai positif, tetapi dapat mengkondisikan perilaku buruk, seharusnya disikapi dengan mengubah mindset dan perlakuan terhadap artefak tersebut. Mindset dan perlakuan masyarakat terhadap Facebook dan BBM harus dikondisikan sedemikian rupa agar dapat terhindar dari keburukan dan mendorong ketaatan. Salah satunya dengan menanamkan nilai-nilai Islam dalam memanfaatkan media sosial, seperti Facebook dan BBM.
Untuk sedikit memperjelas kata “sedemikian rupa” di atas, kisah nyata berikut ini barangkali dpat memberikan ilustrasi. Suatu kali di suatu daerah di Semarang terdapat kampung yang penduduknya bergama Islam. Seorang non muslim datang kepada mereka dan menawarkan pembangunan rumah dengan harga sangat murah dan terjangkau. Setelah pembangunan komplek perumahan selesai, mereka segera menempati rumah-rumah yang memang telah didermakan untuk mereka. Persoalanya adalah, komplek perumahan itu tidak dibangun bebas nilai dan kepentingan. Penyandang dana pembangunan komplek perumahan tersebut bermaksud memurtadkan penduduk kampung dengan bantuannya. Untuk melawan upaya pemurtadan, kyai setempat menggagas pembangunan masjid di komplek baru tersebut. Dan melalui masjid inilah masyarakat dibentengi dari upaya pemurtadan.
Jadi, pengertian “sedemikian rupa” dalam konteks media sosial adalah bagaimana “membangun masjid” di dalam Facebook dan BBM.
E. Strategi Berbeda dalm Masyarakat yang Berbeda
Di samping ancaman di atas, perkembangan teknologi informasi juga mengubah karakter masyarakat. Umumnya masyarakat di era teknologi informasi bersifat individualistis
Dakwah dari pintu ke pintu menemukan relevansinya dalam masyarakat yang bersifat indivudualistis
Karakter rasional sangat bertolak belakang dengan karakter mistis. Bisa jadi karakter mistis masih dominan dalam masyarakat jawa. Tetapi generasi yang lahir tahun 90-an kelak akan menjadi unsur mayoritas. Dan umumnya mereka memiliki karakter rasional. Berdakwah dalam masyarakat yang berkarakter rasional tidak cukup hanya dilakukan secara indoktrinal-dog
Karakter egaliter umumnya tidak menganggap orang lain lebih berhak menyampaikan kebenaran. Problem otoritas telah menghadang ketika sebuah dakwah Islam hendak di sampaikan kepada masyarakat yang berkarakter egaliter. Dalam kasus dakwah Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam otoritas itu diperoleh dengan turunya mukjizat. Dengan mukjizat setidaknya masyarakat meyakini bahwa seorang da’i memang memiliki otoritas menyampaikan kebenaran. Dalam konteks dakwah kontemporer, otoritas itu bisa berupa gelar, status sosial, kekayaan dan lain-lain, bergantung kepada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
Gelar, pangkat, kedudukan, jabatan, kekayaan dan status sosial bukan syarat utama, melainkan aksesoris yang menjadi pintu masuk dakwah kita kepada suatu masyarakat. Ilmu dan kecakapan teknis berdakwah tetap yang utama. Sebagaimana pepatah arab, “ pakainamu memuliakanmu sebelum kamu duduk. Dan ilmumu memuliakanmu setelah kamu duduk”.
Di atas itu semua, keberhasilan dakwah dalam era apapun dan di manapun sangat ditentukan oleh keteladanan da’i. Penerimaan mayarakat terhadap meteri dakwah sanagt dipengaruhi oleh kesatuan ucapan dan perbuatan seorang da’i. Dan itulah yang di contohkan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam ketika berdakwah.
F. Kesimpulan
Perkembangan teknologi informasi menghadirkan berbagai tantangan bagi dakwah Islam. Tantangan itu dapat dirumuskan sebagai berikut. (1) Bagaimana mengubah perilaku munkar masayarakat yang terbentuk dan terkondisikan oleh kemajuan teknologi. (2) Bagaimana memenangi persaingan dengan kelompok-kelomp
Tantangan pertama harus direspon dengan dua hal. (1) Menciptakan artefak-artefak
Dan yang terpenting, semua upaya itu harus diimbangi dengan perilaku santun dan akhlakul karimah dari seorang Da’i.
0 comments:
Post a Comment