Sunday 30 March 2014

Berdakwah di Era Teknologi Informasi: Mengubah Ancaman Menjadi Peluang

Berdakwah di Era Teknologi Informasi: Mengubah Ancaman Menjadi Peluang
oleh: Moh Najib Bukhori
A. Pendahuluan

Revolusi teknologi informasi telah mengubah dunia menjadi desa kecil. Revolusi teknologi informasi telah mengubah pola interaksi manusia dan mengakibatkan pergeseran nilai. Tingkat persaingan di segala bidang semakin tinggi dan terbuka.

Kemajuan teknologi informasi telah mendorong terbentuknya kecenderungan individualistis
. Apa yang disebut komunitas tidak lagi harus sekumpulan orang-orang yang saling mengenal. Sekumpulan orang dari berbagai belahan dunia bisa disebut sebagai sebuah komunitas, meskipun tidak saling mengenal satu sama lain. Kemajuan teknologi informasi membuka jalan bagi terbentuknya sifat-sifat individualistis yang acuh terhadap lingkungan sekitarnya.

Arus informasi dari berbagai belahan dunia sulit dibendung. Terbentuklah pasar bebas informasi tempat bersaing berbagai ideologi, pengaruh dan opini. Suguhan pornografi, sadisme, terorisme dan hedonisme bisa setiap hari menampilkan dirinya sembari meyakinkan kepada khayalak bahwa itulah cara hidup yang baik dan benar. Marxime, materialisme dan anti tuhan bisa setiap saat menyambangi kita sembari menawarkan dirinya sebagai jalan keselamatan.

Di sisi lain, teknologi informasi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan misi dakwah islam. Menurut data statistik, pada tahun 2012 pengguna internet di seluruh dunia mencapai 2,5 miliar, 63 juta diantaranya adalah pengguna Indonesia. (Internetworlstat.com). Angka sebesar itu tidak mungkin diperoleh dari kerumunan pengajian atau ceramah di luar dunia maya. Jika sebuah misi dakwah Islam bisa diakses separo saja dari total pengguna intrnet, itu artinya sekali ceramah bisa didengar oleh jutaan umat, jauh lebih efektif dibanding ceramah konvensional yang membutuhkan banyak waktu dan banyak tempat untuk mencapai jumlah audience yang sama. Di sinilah perkembangan teknologi informasi menjadi peluang bagi dakwah Islam.

Pendeknya, perkembangan teknologi dapat menjadi ancaman sekaligus peluang bagi misi dakwah Islam. Pertanyaannya adalah bagaimana ancaman itu dapat diatasi dan peluang itu dapat dimanfaatkan, sehingga perkembangan teknologi dapat menjadi berkah, bukan musibah, bagi misi dakwah Islam?

B. Pengertian dan Tanggung Jawab Dakwah

Secara etimologis dakwah berarti ajakan atau seruan. Secara terminologis dakwah adalah menyampaikan, mengajarkan dan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Allah berfirman:

وَلْŘŞَكُنْ مِنْكُمْ ŘŁُمَّŘŠٌ يَŘŻْŘšُونَ ŘĽِلَى الْŘŽَيْŘąِ وَيَŘŁْمُŘąُونَ بِالْمَŘšْŘąُوفِ وَيَنْهَوْنَ Řšَنِ الْمُنْكَŘąِ وَŘŁُولَŘŚِكَ هُمُ الْمُفْلِŘ­ُونَ (ال عمران: 104)

ادْŘšُ ŘĽِلَى Řłَبِيلِ Řąَبِّكَ بِالْŘ­ِكْمَŘŠِ وَالْمَوْŘšِظَŘŠِ الْŘ­َŘłَنَŘŠِ وَŘŹَادِلْهُمْ بِالَّŘŞِي هِيَ ŘŁَŘ­ْŘłَنُ ŘĽِنَّ Řąَبَّكَ هُوَ ŘŁَŘšْلَمُ بِمَنْ Řśَلَّ Řšَنْ Řłَبِيلِهِ وَهُوَ ŘŁَŘšْلَمُ بِالْمُهْŘŞَŘŻِينَ (النحل: 125)

قُلْ هَŘ°ِهِ Řłَبِيلِي ŘŁَŘŻْŘšُو ŘĽِلَى اللَّهِ Řšَلَى بَŘľِيرَŘŠٍ ŘŁَنَا وَمَنِ اتَّبَŘšَنِي وَŘłُبْŘ­َانَ اللَّهِ وَمَا ŘŁَنَا مِنَ الْمُŘ´ْŘąِكِينَ (يوسف: 108)

Makna yang sama juga ditekan Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Ia bersabda:

بَلِّŘşُوا Řšَنِّي وَلَوْ آيَŘŠً (البخاري: 3461)

Di samping sebagai penyampaian ajaran Islam, dakwah juga merupakan upaya pembimbingan dan pembinaan terhadap prakarsa umat menuju penerapan ajaran Islam. Hal ini tercermin dari tugas Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, sebagaimana termakktub dalam firman Allah:

كَمَا ŘŁَŘąْŘłَلْنَا فِيكُمْ ŘąَŘłُولًا مِنْكُمْ يَŘŞْلُو Řšَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُŘšَلِّمُكُمُ الْكِŘŞَابَ وَالْŘ­ِكْمَŘŠَ وَيُŘšَلِّمُكُمْ مَا لَمْ ŘŞَكُونُوا ŘŞَŘšْلَمُونَ (البقرة: 151)

Ayat tersebut di atas menunujukkan bahwa Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam tidak hanya menyampaikan, tetapi juga mengajarkan, membimbing dan membina sahabat-sahabatnya.

Ajaran Islam yang bersumber dari ayat-ayat Allah dan sabda Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam bertujuan memberikan kesejahteraan, baik di dunia maupun akhirat. Allah berfirman:

وَابْŘŞَŘşِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّاعَ الْآ؎ِŘąَŘŠَ وَلَا ŘŞَنْŘłَ نَŘľِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَŘŁَŘ­ْŘłِنْ كَمَا ŘŁَŘ­ْŘłَنَ اللَّهُ ŘĽِلَيْكَ وَلَا ŘŞَبْŘşِ الْفَŘłَادَ فِي الْŘŁَŘąْŘśِ ŘĽِنَّ اللَّهَ لَا يُŘ­ِبُّ الْمُفْŘłِŘŻِينَ (القصص:77)

Dengan demikian dakwah bertujuan menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi umat manusia, baik di dunia maupun akhirat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah upaya menciptakan kehidupan sejahtera bagi umat manusia di dunia dan akhirat dengan menyampaikan, mengajarkan dan menerapkan ajaran Islam dalam keseharian umat. Dakwah bukan sekedar orasi mimbar atau pengajian akbar, tanpa memperhatikan, sejauh mana umat telah memahami dan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Siapakah yang bertanggung jawab mengemban tugas dakwah?

Pada dasarnya setiap orang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. Kesejahteraannya di dunia dan akhirat menjadi tanggung jawab sendiri. Allah berfirman:

يَا ŘŁَيُّهَا الَّŘ°ِينَ آمَنُوا قُوا ŘŁَنْفُŘłَكُمْ وَŘŁَهْلِيكُمْ نَاعًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْŘ­ِŘŹَاعَŘŠُ Řšَلَيْهَا مَلَا،ِكَŘŠٌ Řşِلَاظٌ Ř´ِŘŻَادٌ لَا يَŘšْŘľُونَ اللَّهَ مَا ŘŁَمَŘąَهُمْ وَيَفْŘšَلُونَ مَا يُؤْمَŘąُونَ (التحريم: 6)

Apa yang dilakukan Rasulullah juga menunjukkan bahwa kesejahteraan dunia juga menjadi tanggung jawab personal tiap orang. Suatu kali seseorang datang kepada rasulullah dan meminta. Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam tidak memberinya, melainkan memerintahkannya untuk bekerja dengan modalnya sendiri. Berikut kisah selengkapnya sebagaimana diriwayatkan Abu Daud:

ŘŁَنَّ ŘąَŘŹُلًا مِنَ الْŘŁَنْŘľَاعِ ŘŁَŘŞَى النَّبِيَّ Řľَلَّى اللهُ Řšَلَيْهِ وَŘłَلَّمَ يَŘłْŘŁَلُهُ، فَقَالَ: «ŘŁَمَا فِي بَيْŘŞِكَ Ř´َيْŘĄٌ؟» قَالَ: بَلَى، Ř­ِلْŘłٌ نَلْبَŘłُ بَŘšْŘśَهُ وَنَبْŘłُءُ بَŘšْŘśَهُ، وَقَŘšْبٌ نَŘ´ْŘąَبُ فِيهِ مِنَ الْمَاإِ، قَالَ: «Ř§ŘŚْŘŞِنِي بِهِمَا» ، قَالَ: فَŘŁَŘŞَاهُ بِهِمَا، فَŘŁَŘŽَŘ°َهُمَا ŘąَŘłُولُ اللَّهِ Řľَلَّى اللهُ Řšَلَيْهِ وَŘłَلَّمَ بِيَŘŻِهِ، وَقَالَ: «Ů…َنْ يَŘ´ْŘŞَŘąِي هَŘ°َيْنِ؟» قَالَ ŘąَŘŹُلٌ: ŘŁَنَا، آ؎ُŘ°ُهُمَا بِŘŻِŘąْهَمٍ، قَالَ: «Ů…َنْ يَزِيدُ Řšَلَى ŘŻِŘąْهَمٍ مَŘąَّŘŞَيْنِ، ŘŁَوْ ŘŤَلَا؍ًا» ، قَالَ ŘąَŘŹُلٌ: ŘŁَنَا آ؎ُŘ°ُهُمَا بِŘŻِŘąْهَمَيْنِ فَŘŁَŘšْءَاهُمَا ŘĽِيَّاهُ، وَŘŁَŘŽَŘ°َ الدِّŘąْهَمَيْنِ وَŘŁَŘšْءَاهُمَا الْŘŁَنْŘľَاعِيَّ، وَقَالَ: «Ř§Ř´ْŘŞَŘąِ بِŘŁَŘ­َŘŻِهِمَا ءَŘšَامًا فَانْبِŘ°ْهُ ŘĽِلَى ŘŁَهْلِكَ، وَاشْŘŞَŘąِ بِالْآ؎َŘąِ قَŘŻُومًا فَŘŁْŘŞِنِي بِهِ،» ، فَŘŁَŘŞَاهُ بِهِ، فَŘ´َŘŻَّ فِيهِ ŘąَŘłُولُ اللَّهِ Řľَلَّى اللهُ Řšَلَيْهِ وَŘłَلَّمَ Řšُودًا بِيَŘŻِهِ، ŘŤُمَّ قَالَ لَهُ: «Ř§Ř°ْهَبْ فَاحْŘŞَءِبْ وَبِŘšْ، وَلَا ŘŁَŘąَيَنَّكَ ŘŽَمْŘłَŘŠَ ŘšَŘ´َŘąَ يَوْمًا» ، فَŘ°َهَبَ الرَّŘŹُلُ يَŘ­ْŘŞَءِبُ وَيَبِيعُ، فَŘŹَاإَ وَقَŘŻْ ŘŁَŘľَابَ ŘšَŘ´ْŘąَŘŠَ ŘŻَŘąَاهِمَ، فَاشْŘŞَŘąَى بِبَŘšْŘśِهَا ŘŤَوْبًا، وَبِبَŘšْŘśِهَا ءَŘšَامًا، فَقَالَ ŘąَŘłُولُ اللَّهِ Řľَلَّى اللهُ Řšَلَيْهِ وَŘłَلَّمَ: ” هَŘ°َا ŘŽَيْŘąٌ لَكَ مِنْ ŘŁَنْ [Řľ:121] ŘŞَŘŹِيءَ الْمَŘłْŘŁَلَŘŠُ نُكْŘŞَŘŠً فِي وَŘŹْهِكَ يَوْمَ الْقِيَامَŘŠِ، ŘĽِنَّ الْمَŘłْŘŁَلَŘŠَ لَا ŘŞَŘľْلُŘ­ُ ŘĽِلَّا لِŘŤَلَا؍َŘŠٍ: لِŘ°ِي فَقْŘąٍ مُŘŻْقِŘšٍ، ŘŁَوْ لِŘ°ِي ŘşُŘąْمٍ مُفْظِŘšٍ، ŘŁَوْ لِŘ°ِي ŘŻَمٍ مُو؏ِŘšٍ ” (ابو داود: 1641)

Di sisi lain manusia juga memiliki tanggung jawab kolektif untuk menciptakan kehidupan bersama yang sejahtera di dunia dan akhirat. Rasullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ ŘŁَŘ­َŘŻُكُمْ، Ř­َŘŞَّى يُŘ­ِبَّ لِŘŁَŘŽِيهِ مَا يُŘ­ِبُّ لِنَفْŘłِهِ (البخاري: 13)

Jika seseorang menginginkan kesejahteraan di dunia dan akhirat bagi dirinya, maka ia juga harus menginginkannya bagi orang lain. Bahkan Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam mengecam orang yang mengacuhkan penderitaan orang lain di lingkungannya, sementara ia hidup bergelimang kemewahan. Rasulullah bersabda:

ليس المؤمن الذي يشبع وجاره ؏ا،ؚ (البخاري، الادب المفرد: 112)

Bahkan sikap acuh terhadap kemungkaran yang terjadi di lingkungannya akan mendatangkan bencana. Allah berfirman :

كَانُوا لَا يَŘŞَنَاهَوْنَ Řšَنْ مُنْكَŘąٍ فَŘšَلُوهُ لَبِŘŚْŘłَ مَا كَانُوا يَفْŘšَلُونَ (المائدة: 79)

Makna yang sama juga disabdakan Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam:

ŘĽِنَّ النَّاسَ ŘĽِŘ°َا ŘąَŘŁَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَŘŁْŘŽُŘ°ُوا Řšَلَى يَŘŻَيْهِ ŘŁَوْŘ´َكَ ŘŁَنْ يَŘšُمَّهُمُ اللَّهُ بِŘšِقَابٍ مِنْهُ (الترمذي: 2168)

Dengan demikian dakwah pertama dan terutama menjadi tangungg jawab personal. Dalam konteks ini sasaran dakwah sekurang-kurangnya meliputi diri dan keluarga, sebagaimana diebutkan surat al-TaḼrčm ayat 6 di atas, juga firman Allah berikyt ini:

وَŘŁْمُŘąْ ŘŁَهْلَكَ بِالصَّلَا؊ِ وَاؾْءَبِŘąْ Řšَلَيْهَا لَا نَŘłْŘŁَلُكَ Řąِزْقًا نَŘ­ْنُ نَŘąْزُقُكَ وَالْŘšَاقِبَŘŠُ لِلتَّقْوَى (طه: 132)

Tanggung jawab personal juga diwujudkan dalam bentuk partisipasi dalam mencapai masyarakat yang sejahtera dunia dan akhirat. Pada saat yang sama dakwah juga menjadi tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan dan sesamanya.

C. Perubahan Melalui Aras Atas Budaya

Mengacu definisi di atas, seorang da’i adalah agen perubahan soasial. Tugas seorang da’i adalah melakukan perubahan sosial dan budaya menuju sistem nilai dan sistem sosial yang selaras dengan ajaran Islam. Ada tiga wujud budaya, yaitu: sistem nilai, sistem perilaku dan artefak. Secara mudah ketiga wujud budaya ini dapat digambarkan sebagai berikut. Suatu masyarakat yang meykini pentingya pendidikan akan bersekolah, dan agar orang-orang dapat bersekolah maka dibangunlah sekolahan. Sekolahan adalah wujud artefak dari budaya; bersekolah adalah wujud sistem perilaku dari budaya; dan keyakinan tentang pentingnya sekolah adalah wujud sistem nilai dari budaya.

Perubahan budaya bisa dimulai dari aras artefak. Misalnya, selama ini kencing berdiri dianggap tabu, dan karenanya orang tidak akan kencing berdiri kecuali ia siap mendapatkan sanksi sosial. Tetapi dengan banyaknya fasilitas umum yang hanya menyiapkan orang untuk kencing berdiri, maka orang akan terbiasa kencing berdiri. Ketika perilaku kencing berdiri teru menerus dilakukan dalam skala masif, maka perilaku kencing berdiri tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan. Pada gilirannya perilaku ini akan melhirkan nilai baru, yaitu ketidaktabuan kencing berdiri, menggeser nilai lama yang menabukan kencing berdiri. Dari artefak yaitu fasilitas kencing berdiri, lahir sistem perilaku kencing berdiri, dan berakhir dengan lahirnya nilai baru: ketidak-tabuan kencing berdiri.

Terkait hal tersebut di atas, ketika kita sedang berpikir bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk kepentingan dakwah, sesungguhnya teknologi itu sendiri telah melakukan “dakwah” dengan caranya sendiri. Terlepas apakah teknologi bebas nilai atau tidak, ia telah mengkondisikan suatu perubahan pola perilaku. Media sosial seperti facebook dan BBM, misalnya, secara tidak langsung telah mengubah pola interaksi antar person. Dengan kedua media sosial ini, seseorang dapat terjebak dalam obrolan panjang yang menyita waktu sembari mengabaikan kawan, keluarga atau tetangga yang secara fisik nyata-nyata berada di dekatnya. Pada gilirannya pola interaksi tersebut akan membawa perubahan baru dalam konsep pertemanan, persepsi kedekatan hubungan dan nilai-nilai silaturrahmi.

Ini hanya salah satu contoh kecil yang berdampak besar. Dan inilah salah satu ancaman bagi dakwah Islam. Mampukah para da’i menjadikan artefak Facebook dan media sosial lainnya sebagai pendorong dan pencipta atmosfer yang mengarah kepada nilai-nilai Islam.

D. Belajar Dari Ka’bah, Bukit Safa dan Marwa

Sebelum Islam datang, Ka’bah telah menjadi pusat pertemuan musiman suku-suku Arab di seluruh semenanjung Arab. Di samping untuk melaksanakan tradisi ritual, pertemuan musiman itu juga mereka manfaatkan untuk kepentingan ekonomi, sosial dan politik. Tradisi ritual yang mereka lakukan tidaklah seperti ibadah haji yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan jauh dari segala bentuk maksiat. Dalam keadaan telanjang mereka mengelilingi Ka’bah sambil bersiul dan bertepuk. Dan di dalam Ka’bah terdapat ratusan berhala yang menjadi sembahan mereka. Patung-patung juga terdapat di bukit safa dan marwa. Setiap sampai di kedua bukit tersebut, patung-patung itu, mereka sembah.

Ketika Islam datang, Ka’bah tidak dihancurkan, melainkan dibersihkan dari praktik-praktik syirik dan maksiat. Thawaf ditetapkan sebagai amalan haji dengan menghilangkan perilaku telanjang, bersiul dan bertepuk. Ketika Rasulullah berhasil menguasai Makkah, Ka’bah dibersihkan dari berhala-berhala yang menjadi sembahan orang-orang musyrik. Demikian pula, berjalan di antara bukit Safa dan Marwa ditetapkan sebagai amalan haji dengan menghilangkan berhala-berhala.

Uraian di atas menggambarkan bahwa Ka’bah sebagai artefak budaya merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan perilaku ritual. Pada masa jahiliyah perilaku ritual itu berwujud tindakan-tindakan syirik dan maksiat. Demikian pula bukit Sofa dan Marwa yang dijadikan tempat pemujaan berhala. Bahkan pada masa awal ditetapkannya sa’i sebagai amalan haji, sebagaian sahabat enggan melaksanakannya, karena merasa amalan itu adalah amalan jahiliyah. Hal itu mengindikasikan bahwa perilaku syirik di Safa dan Marwa merupakan wujud budaya yang identik dengan wujud budaya lain, yaitu bukit Safa dan Marwa.

Artefak budaya yang bernilai positif tetapi memiliki ekses negatif tidak direspon dengan menjauhinya. Justru sebaliknya, Islam berjuang keras bagimana artefak budaya tersebut bisa menjadi perwujudan dari perilaku ritual yang sesuai dengan ajaran Islam. Perjuangan itu dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai Islami kepada masyarakat setempat. Ka’bah yang semula menjadi tempat pemujaan berhala dan perilaku maksiat diubah menjadi tempat mengesakan Allah dan perilaku saleh

Dengan demikian artefak budaya yang memiliki nilai positif, tetapi dapat mengkondisikan perilaku buruk, seharusnya disikapi dengan mengubah mindset dan perlakuan terhadap artefak tersebut. Mindset dan perlakuan masyarakat terhadap Facebook dan BBM harus dikondisikan sedemikian rupa agar dapat terhindar dari keburukan dan mendorong ketaatan. Salah satunya dengan menanamkan nilai-nilai Islam dalam memanfaatkan media sosial, seperti Facebook dan BBM.

Untuk sedikit memperjelas kata “sedemikian rupa” di atas, kisah nyata berikut ini barangkali dpat memberikan ilustrasi. Suatu kali di suatu daerah di Semarang terdapat kampung yang penduduknya bergama Islam. Seorang non muslim datang kepada mereka dan menawarkan pembangunan rumah dengan harga sangat murah dan terjangkau. Setelah pembangunan komplek perumahan selesai, mereka segera menempati rumah-rumah yang memang telah didermakan untuk mereka. Persoalanya adalah, komplek perumahan itu tidak dibangun bebas nilai dan kepentingan. Penyandang dana pembangunan komplek perumahan tersebut bermaksud memurtadkan penduduk kampung dengan bantuannya. Untuk melawan upaya pemurtadan, kyai setempat menggagas pembangunan masjid di komplek baru tersebut. Dan melalui masjid inilah masyarakat dibentengi dari upaya pemurtadan.

Jadi, pengertian “sedemikian rupa” dalam konteks media sosial adalah bagaimana “membangun masjid” di dalam Facebook dan BBM.

E. Strategi Berbeda dalm Masyarakat yang Berbeda

Di samping ancaman di atas, perkembangan teknologi informasi juga mengubah karakter masyarakat. Umumnya masyarakat di era teknologi informasi bersifat individualistis, rasional dan egaliter dalam pengertian tidak mudah tunduk pada titah kyai. Perubahan ini juga menuntut perubahan strategi dakwah. Pada saat yang sama perubahan tersebut juga memberikan peluang dakwah yang sangat besar. Sebab, masyarakat yang individualistis dan rasional umumnya kering kerontang secara spiritual, dan karenanya mereka haus akan sentuhan-sentuhan religius.

Dakwah dari pintu ke pintu menemukan relevansinya dalam masyarakat yang bersifat indivudualistis. Sebab, mereka sulit megikuti kegiatan yang bersifat massal kecuali karena tuntutan tugas. Metode dakwah personal menuai sukses di kota-kota besar yang masayarakatnya bersifat individualistis-rasional. Kebanyakan Islamnya orang Eropa dan Amerika bukan karena dakwah ala walisongo, tetapi dakwah ala Jama’ah Tabligh dan Ahmadiyah. Karena itu, ketika suatu kali Abul A’la al-Maududi ditanya tentang keberadaan Jama’ah Tabligh, ia menjawab bahwa kelompok tersebut telah melakukan tugas-tugas yang saya lakukan. Dengan kata lain dari sudut metode dakwah, Jama’ah Tabligh memiliki nilai plus.

Karakter rasional sangat bertolak belakang dengan karakter mistis. Bisa jadi karakter mistis masih dominan dalam masyarakat jawa. Tetapi generasi yang lahir tahun 90-an kelak akan menjadi unsur mayoritas. Dan umumnya mereka memiliki karakter rasional. Berdakwah dalam masyarakat yang berkarakter rasional tidak cukup hanya dilakukan secara indoktrinal-dogmatis, tetapi harus disertai penalaran logis. Karakter rasional tidak bisa menerima sesuatu secara taken for granted. Bahasa semacam, “saru”, “gak elok” tidak akan diterima jika tidak disertai penjelasan rasional.

Karakter egaliter umumnya tidak menganggap orang lain lebih berhak menyampaikan kebenaran. Problem otoritas telah menghadang ketika sebuah dakwah Islam hendak di sampaikan kepada masyarakat yang berkarakter egaliter. Dalam kasus dakwah Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam otoritas itu diperoleh dengan turunya mukjizat. Dengan mukjizat setidaknya masyarakat meyakini bahwa seorang da’i memang memiliki otoritas menyampaikan kebenaran. Dalam konteks dakwah kontemporer, otoritas itu bisa berupa gelar, status sosial, kekayaan dan lain-lain, bergantung kepada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.

Gelar, pangkat, kedudukan, jabatan, kekayaan dan status sosial bukan syarat utama, melainkan aksesoris yang menjadi pintu masuk dakwah kita kepada suatu masyarakat. Ilmu dan kecakapan teknis berdakwah tetap yang utama. Sebagaimana pepatah arab, “ pakainamu memuliakanmu sebelum kamu duduk. Dan ilmumu memuliakanmu setelah kamu duduk”.

Di atas itu semua, keberhasilan dakwah dalam era apapun dan di manapun sangat ditentukan oleh keteladanan da’i. Penerimaan mayarakat terhadap meteri dakwah sanagt dipengaruhi oleh kesatuan ucapan dan perbuatan seorang da’i. Dan itulah yang di contohkan Rasulullah ᚢalla Allah ‘Alaihy wa Sallam ketika berdakwah.

F. Kesimpulan

Perkembangan teknologi informasi menghadirkan berbagai tantangan bagi dakwah Islam. Tantangan itu dapat dirumuskan sebagai berikut. (1) Bagaimana mengubah perilaku munkar masayarakat yang terbentuk dan terkondisikan oleh kemajuan teknologi. (2) Bagaimana memenangi persaingan dengan kelompok-kelompok lain dalam menciptakan masyarakat yang islami. (3) Bagaimana mendapatkan pintu masuk agar dakwah Islam dapat didengar sebanyak-banyak orang.

Tantangan pertama harus direspon dengan dua hal. (1) Menciptakan artefak-artefak baru yang dapat mendorong dan mengkondisikan perilaku saleh. (2) Mengubah mindset dan perlakuan terhadap teknologi melalui penanaman nilai-nilai yang Islami. Tantangan kedua dapat direspon dengan melakukan diversifikasi pendekatan dan metode dakwah sesuai dengan karakter masyarakat. Tantangan ketiga perlu direspon dengan mendapatkan otoritas yang dibutuhkan dalam berdakwah. Dan yang terpenting, semua upaya itu harus diimbangi dengan perilaku santun dan akhlakul karimah dari seorang Da’i.

Dan yang terpenting, semua upaya itu harus diimbangi dengan perilaku santun dan akhlakul karimah dari seorang Da’i.
Berdakwah di Era Teknologi Informasi: Mengubah Ancaman Menjadi Peluang
  • Blogger Comments

0 comments:

Post a Comment

Top