Pluralisme Agama Berkedok Toleransi
Pengertian Pluralisme dan Pahamnya
Pada saat menduduki bangku Madrasah Aliyah dulu, kami berkesempatan
untuk mengikuti diskusi antar SMA sederajat dengan 4 topik pembahasan, yang
satu diantaranya bertemakan “ Pluralisme Agama ”, mendapat nomor undian 3 kami
jadi bisa mencermati 2 delegasi lain sebelum kami, dalam pemaparannya,
kedua-duanya menyatakan setuju dan sangat mendorong adanya pluralisme, hingga
tiba giliran kami, dengan tegas kami menyampaikan bahwa kami tidak cocok dengan
paham pluralisme dan sangat tidak mendukung adanya hal tersebut. Hampir lima
menit kami menyampaikan tiba-tiba moderator menghentikan sejenak diskusi dan
ternyata ia ingin mengambil kesepakatan forum tentang makna pluralisme yang
akan dibahas. Setelah disepakati, diskusi berjalan dengan lancar dan berada
pada satu presepsi untuk mendiskusikan suatu topik.
Memang, jika ditelusuri lebih dalam, kebanyakan akar konflik dari
yang setuju dan yang tidak seuju pada
paham pluralisme ini berada pada masalah pemahaman mereka mengenai arti pluralisme,
dari yang telah banyak diperbincangkan dan dari pemahaman sekilas, pluralisme
memiliki 2 aspek makna[1]. Keduanya
seperti 2 mata koin uang yang sebenarnya tidak mungkin disatukan antara esensi
yang terkandung diantara keduanya , 2 aspek makna tersebut adalah :
1)
Pengakuan
terhadap kualitas majemuk, atau toleransi terhadap kemajemukan;
2)
Doktrin-doktrin
yang berisi :
a)
Pengakuan
terhadap kemajmukan sebagai prinsip tertinggi;
b)
Pernyataan
tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran
satu-satunya dalam suatu masalah;
c)
Ancaman
bahwa tidak ada satu pendapat pun yang benar, atau semua pendapat sama
benarnya;
d)
Teori
yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran;
e)
Pandangan
bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat sama benarnya.
Ada pula yang sering membagi pluralisme dari sudut pandang yang
berbeda, pluralisme sosiologis dan pluralism teologis, namun penulis
beranggapan bahwa pemahaman yang kedua ini intinya sama saja. Pluralisme
sosiologis berarti pengakuan adanya keberagaman agama, pluralisme teologis
berarti pengakuan tidak ada agama yang benar, tidak jauh beda dengan pengertian
yang pertama.
Ayat-Ayat yang Sering Digunakan Kelompok Pluralis
Pada suatu kesempatan, seorang anggota JIL yang bernama Luthfi
Asyaukani pernah menulis sebuah artikel yang kami cuplik berikut ini :
“Namun, asas teologi
Islam yang lebih penting menyangkut kehidupan antar-agama tak terbatas hanya
pada pengalaman Madinah. Alquran, sebagai kitab suci yang menjadi rujukan
teologis kaum muslim, memiliki banyak sekali ayat yang memerintahkan umat Islam
untuk, bukan saja menghormati keberadaan agama-agama lain, tapi mengajak mereka
mencari kesamaan-kesamaan (kalimatun sawa) (Q.S. 3: 64).
Dalam beberapa ayat Alquran, Allah menjamin para penganut
agama-agama lain (seperti Yahudi, Kristen, Sabean) akan mendapatkan pahala
sesuai dengan perbuatan baik mereka dan dijamin berada dalam lindungan Allah
(Q.S. 2: 62 dan Q.S. 5: 69). Ayat-ayat seperti ini memperkuat ayat-ayat lainnya
yang menyatakan bahwa semua agama, selama mengakui ketertundukannya kepada
Allah (yang merupakan makna dari kata “Islam”), pada dasarnya adalah sama.
Jangan heran kalau Nabi Muhammad pernah menyatakan bahwa agama yang paling
dicintai Allah adalah “alhanafiyah al-samhah” (semangat kebenaran yang
toleran).”[2]
Sebagaimana yang telah kami paparkan, bahwa faham mereka juga
menggunakan ayat Al-Quran sebagai tameng berlindung. Menurut pemahaman mereka
Al-Quran juga banyak menjelaskan dan mengakui adanya pluralisme. Dan beberapa
ayat yang mereka sering mereka gunakan perisai berlindung adalah :
إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
(QS. Al-Maidah : 69)
Mereka mengklaim bahwa dengan adanya ayat ini, berarti tuhan masih
memberikan perlindungan kepada pemeluk agama lain, dan juga masih mendapatkan
pahala apabila beribadah, dengan arti lain mereka menganggap akan perbedaan
dari rentetan agama yang berkembang hanya dari segi tatacara dan jalan,
sedangkan dalam arti esensi dzat dan hasil yang disembah sama. Dan ayat lain
yang juga dinukil mereka adalah :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا
وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
(QS. Ali Imran : 64)
Ayat 64 yang terdapat dalam surat Ali Imron, juga banyak dijadikan
sebagai benteng pemerkuat keyakinan mereka akan adanya pluralisme agama. Disini
terlihat sekali kalau mereka memaksakan ayat Al-Quran untuk memperkuat paham
mereka, lagi-lagi dengan mengesampikan bahwa penafsiran mengenai ayat-ayat
seperti ini telah banyak disinggung oleh ulama, mereka mengesampingkan dengan
dalih pembaharuan.
Dalam ayat tersebut mereka mencoba mencari justifikasi terhadap
pemikiran mereka yang pluralis itu, padahal “تَعَالَوْا
إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ” bukan
dimaksutkan untuk mencari titik sama dari keberagaman agama Ahli Kitab
melainkan mengajak mereka pada satu titik temu, kalimat selanjutnya memberikan
penjelasan bahwa bentuk dari “كَلِمَةٍ سَوَاءٍ ” adalah “……أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا
“ yaitu kembali pada satu tujuan, pada satu pemahaman tentang Dzat
yang maha disembah, yang tidak layak disekutukan terhadap apapun, bukan mencari
justifikasi yang kemudian digunakan untuk mengakui eksistensi agama lain.
Padahal jika ditelusuri sendiri ayat ini sebenarnya diturunkan pada
Ahli Kitab yang berada disekitar Madinah, dan itu berarti menegaskan bahwa ayat
ini adalah sebuah bentuk ajakan kepada mereka untuk masuk islam “فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ ”
Ayat ini pula yang digunakan oleh Nabi Muhammad dalam mengajak Raja
Hercules untuk masuk islam[3].
Melalui surat yang beliau kirimkan kepada Raja tersebut, beliau ikut
melampirkan Al-Quran surat Ali Imran ayat 64. Disini nabi benar-benar mengajak
Raja Hercules masuk islam, bukan mencari persamaan dengan apa yang dianut
Hercules dan kemudian mengajak perdamaian dengan mengakui eksistensi dari agama
yang dianut olehnya.
Antara Pluralisme dan Pluralitas
Berangkat dari kegalauan publik, Majlis Ulama Indonesia resmi
mengeluarkan fatwa haram mengenai paham pluralisme tepat pada tanggal 28 Juli
2005[4],
beberapa apresiasi banyak bermunculan, tapi beberapa orang juga ada yang tidak
sependapat dan merasa MUI berada pada fatwa yang tidak tepat. Mereka melakukan
berbagai protes dan mengeluarkan pengertian serta pendapatnya sendiri tentang
pluralisme, seolah mereka itu lebih ulama daripada sekumpulan ulama yang
mewakili Indonesia.
Sejatinya, protes yang mereka gugatkan pun tidak memiliki kejelasan
sikap dan arah, mengenai apa sebenarnya pluralisme yang mereka bela, KH.
Salahudin Wahid pernah menantang mereka mengenai pluralisme seperti apa yang
mereka bela[5],
yang dilakukan Salahudin Wahid itu sangat tepat, Ia mencoba menarik presepsi
pada pengertian pluralism agar tidak hanya asal berdebat dan mendebat, hal ini
penting agar tidak muncul presepsi sendiri-sendiri yang kemudian
ditabrak-tabrakan, terlebih dengan presepsi yang telah disepakati Majlis Ulama
Indonesia. Namun mereka tetap tidak jelas, dan melontarkan protes melalui
pemahaman yang kabur.
Pluralisme dan Pluralitas sering kali diartikan sama, keduanya
memang bersumber dari satu akar kata yaitu plural yang berarti majemuk, namun
tambahan isme dan itas telah mengkhususkan makna antara keduanya,
dalam bahasa Indonesia, penambahan isme memilki arti sebuah paham, sedangkan
itas adalah sebuah kenyataan, jadi pluralisme merupakan paham ke-majemuk-an
agama, sedangkan pluralitas adalah kenyataan dimana terdapat beberapa agama,
pengertian ini kemudian sesuai dengan yang dipaparkan oleh MUI dalam Musyawarah
nasional yang membahas tentang SPILIS.
“ Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau
daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan
”[6]
“ Pluralisme agama adalah
suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah
relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga.“[7]
Memang pengertian ini terlihat sama dengan 2 pengertian pluralisme
pada awal pembahasan yang kami jelaskan. Mengenai pengertian yang pertama kami
setuju karena itu memang sunnah Allah, tapi untuk pengertian ke dua, ini
bertentangan dengan Aqidah Islam.
Paham Pluralisme dalam Perspektif Al-Quran
Pluralitas agama, kultur dan
budaya merupakan sunnatullah, tapi pluralisme sebagaimana yang telah
kita singgung sebenarnya merupakan produk paham barat, dengan doktrinnya yang
begitu halus para pemikir barat mencoba mengalihkan perhatian manusia dengan
membangun persamaan diantara perbedaan, bahkan menghilangkannya.
Disini hak asasi untuk beragama seolah dijunjung tinggi, saking
menghargainya sampai-sampai tidak layak seseorang mengklaim salah satu agama
paling benar. sikap inilah yang disebut pluralis, tapi benarkah paham
pluralisme ini didukung oleh Al-Quran?dalam
Al-Quran jelas telah tersirat bahwa agama yang benar dan diterima adalah
Islam. Misalnya dalam surat Ali Imran ayat 19 :
إِنَّ الدِّينَ
عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Bisa kita cermati, ayat ini menggunakan 2 kata khusus atau dalam
istilah Nahwu biasa disebut dengan Isim Ma’rifat, yakni kata “الْإِسْلَامُ ” dan “الدِّينَ ” sehingga memberikan gambaran bahwa ada sebuah faidah Hasr yang
terkandung di sana. Jadi ayat ini dapat
kita artikan tidak ada agama yang diridlai di sisi Allah kecuali Islam[8].
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Ayat ini turun karena muncul klaim-klaim dari orang Yahudi bahwa
mereka itulah orang-orang yang disinggung dalam ayat sebelumnya “وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ”, dan juga istilah “غَيْرَ الْإِسْلَامِ” pada ayat tersebut, Islam yang dimaksut dalam ayat itu adalah
agama mereka, maka kemudian turunlah ayat “وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ
فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ ”( ali Imron 97), yang intinya Allah hendak menegaskan golongan
mana yang berada di luar garis benar, karena memang nyatanya kemudian mereka
enggan melaksankan haji sebagaimana kisah yang diceritakan oleh seorang
pembesar tabiin, Ikrimah “ …..orang-orang Muslim berhaji sedang orang kafir
hanya duduk-duduk saja”[9].
Al-Alusi juga sempat mendokumentasikan Khutbah sayyidina Ali pada
masa-masa kekhalifahannya : " Islam merupakan penisbatan yang tidak
dinisbatkan pada seseorang pun sebelum saya, islam itu berserah, berserah itu
yakin, yakin itu membenarkan, membenarkan itu berikrar, ikrar itu menyampaikan,
menyampaikan itu sebuah tindakan, kemudian beliau berkata : "
seseungguhnya orang mukmin mengambil agama dari tuhannya bukan dari akalnya,
orang mukmin adalah orang yang mengetahui iman dengan perbuatannya, dan orang
kafir itu mengetahui kufur dengan keingkarannya. Wahai manusia, agamamu
agamamu. keburukan di dalamnya lebih baik daripada kejelekan diluarnya (
agamamu ), keburukan didalamnya diampuni dan kebaikan di selainya ( agamamu )
tidak diterima ".[10]
[1]
Hamid Fahmi. Misykat Refleksi Tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisme. (Jakarta
: INSIST, 2012), Hal. 164
[2]
Diambil dari artikel pembesar JIL, Luthfi Asyaukani dengan judul “Empat Agenda
Islam yang Membebaskan”, lihat http://www.islamlib.com/?site=1&aid=218&cat=content&title=kolom
( diakses pada Jumat, 03 Oktober 2014)
[3] Katsir,
Ibnu. Tt. Tafsir Al-Quran al-Adzim. Maktabah Syamilah. 55
[4]
Fatwa Majlis Ulama Indonesia dengan nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005, yang
dilaksanakan dalam musyawarah nasional di Jakarta dengan pembahasan paham Skulerisme,
Pluralisme dan Liberalisme, lampiran resmi
bisa di download pada http://www.akromadabi.com/2014/10/fatwa-mui-tentang-skulerisme-pliralisme.html
[5]
Hamid Fahmi. Op. Cit, Hal. 164
[6]
Ibid
[7]
Diambil dari fatwa MUI. Op.Cit.
[8]
Syihabudin al-Alusy. Op.Cit. 456
[9] Muhammad
al-Thabari. Op.Cit.571
[10]
Ibid.
agama adalah penghantar kita untuk berbuat baik terhadap semua golongan.. :)
ReplyDelete